BANGKA BARAT – Pesanggrahan Menumbing atau dalam bahasa Belanda disebut Berghotel (tempat bersantai), merupakan salah satu situs bersejarah yang berlokasi di puncak Perbukitan Menumbing, Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung.
Konon lokasi puncak Menumbing ditemukan pertama kali oleh ilmuan Belanda yang pernah melakukan penelitian Botani di kawasan itu.
Penemuan itu kemudian dilaporkan pada perusahaan timah Belanda, Bangka Tin Winning (BTW).
Kemudian disusunlah rencana pembangunan Berghotel. Perusahaan timah pun harus merogoh kocek hingga 2 juta gulden untuk membiayai pembangunan tersebut.
Selain membuat bangunan utama, Belanda juga membuka jalan berlapis batu melingkari perbukitan hingga ke puncak Menumbing.
Anggaran pembangunan digelontorkan pihak perusahaan karena ketika itu produksi timah melimpah dengan harga jual yang tinggi.
Berbekal dana yang cukup, maka pembangunan Pesanggrahan Menumbing terbilang singkat. Yakni dimulai pada 1927 dan diresmikan penggunaannya pada 1928.
Pesanggrahan Menumbing dibangun berbentuk persegi sehingga sekilas lebih mirip benteng. Pembangunan menggunakan bahan baku utama berupa bebatuan granit yang banyak dijumpai di perbukitan Menumbing.
Berada di ketinggian 500 meter di atas permukaan laut (Mdpl) Pesanggrahan Menumbing memang cocok sebagai tempat peristirahatan.
Untuk mencapai lokasi ini, pengunjung harus melewati jalanan berbelok yang kiri kanannya ditumbuhi berbagai jenis pepohonan.
Di Pesanggrahan Menumbing pengunjung bisa merasakan udara yang sejuk serta memanjakan mata dengan pemandangan laut dan hamparan kota Mentok dari ketinggian.
Kepala Seksi Kebudayaan dan Pariwisata Pemkab Bangka Barat, Ferhad Irvan mengatakan, pembangunan Pesanggrahan Menumbing dilakukan dengan mengerahkan tenaga kerja pribumi dan etnis Tionghoa.
Bahkan diyakini juga sebagian dari pekerja tersebut merupakan para tahanan kasus kejahatan atau tawanan perang.
“Membuka hutan dan membuat jalan bukanlah pekerjaan mudah. Butuh biaya dan pekerja dalam jumlah banyak dan juga mereka harus terampil,” kata Ferhad kepada Kompas.com di Pesanggrahan Menumbing, Rabu (11/8/2021).
Ferhad menuturkan, desain bangunan bercorak Eropa dengan komposisi bebatuan yang tertata rapi di setiap sisinya.
“Bangunan ini terdiri dari dua tingkat, pada bagian puncak ada ventilasi sebagai sirkulasi udara ke dalam ruangan,” ujar Ferhad.
Berbagai potret serta ruang istarahat dan meja kerja para pendiri bangsa kala itu masih bisa dijumpai di Pesanggarahan Menumbing.
Termasuk juga sebuah mobil sedan bn 10 yang biasa digunakan Sukarno dan Hatta untuk bepergian selama pengasingan di Bangka.
Sejarawan Bangka Belitung Akhmad Elvian mengatakan, Pesanggrahan Menumbing memiliki nilai sejarah tinggi karena pernah menjadi lokasi pengasingan Mohammad Hatta.
Ketika itu pada 22 Desember 1948, para pendiri bangsa tiba di Bangka Barat.
Kehadiran tokoh proklamator dan kawan-kawan sebagai buntut dari Agresi Militer Belanda II yang berhasil menguasai pusat pemerintahan republik di Yogyakarta.
“Selain Bung Hatta, ada A Gafar Pringgodigdo, Mr Assa’at dan Commodor Suryadarma. Kemudian menyusul Ali Sastroamidjojo dan Mr M Roem diasingkan di sini,” kata Elvian.
Seiring kedatangan para tahanan politik tersebut, maka fungsi Pesanggrahan Menumbing pun ikut berubah.
Bahkan Belanda sempat membuat jeruji berukuran 4 x 6 meter yang diyakini sebagai tempat menahan Bung Hatta dan rekan-rekannya.
“Sketsa dari jeruji atau kerangkeng tersebut masih bisa dilihat, dipajang berdampingan dengan sketsa bangunan pesanggrahan ini,” ujar Elvian.
Penahanan Bung Hatta dan tokoh lainnya di dalam jeruji dinilai sebagai bentuk kekhawatiran Belanda, sebab dukungan masyarakat setempat terhadap para pendiri bangsa tersebut sangat tinggi.
Masyarakat juga sangat antusias atas informasi kemerdekaan yang telah dikumandangkan melalui proklamasi 17 Agustus 1945.
“Sehingga bisa saja ada kelompok masyarakat yang membantu melarikan para tokoh tersebut. Karena di Sumatera Utara, pengasingan Bung Karno dipindahkan karena ada masyarakat yang ingin membebaskan beliau,” ujar Elvian.
Menurut Elvian, penahanan menggunakan kerangkeng tidak berlangsung lama.
Utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang tergabung dalam Komisi Tiga Negara (KTN) datang ke Pesanggrahan Menumbing untuk berdialog dengan Bung Hatta.
Ketika itu utusan bernama TK. Critcly yang berasal dari Australia merasa prihatin dan melayangkan nota protes karena tempat pengasingan dinilai tidak manusiawi.
Belanda kemudian merespon dengan membongkar kerangkeng dan menyiapkan kamar sebagai tempat beristirahat.
Menariknya, kata Elvian, selama kunjungan tim dari KTN, Bijen Konvoor Federal overly (BFO) maupun perwakilan Republik Indonesia Serikat (RIS), Hatta menolak untuk berunding sampai Bung Karno dihadirkan di Bangka Barat.
Alhasil Bung Karno dan Agus Salim kemudian diterbangkan menggunakan pesawat Amfibi ke Pulau Bangka.
Mereka mendarat di Pelabuhan Pangkalbalam, kemudian melanjutkan perjalanan darat ke Bangka Barat. “Ini meluruskan informasi juga, bahwa selama di Bangka Barat, Bung Karno itu tinggal di Wisma Ranggam dekat kota Mentok.
Sedangkan Bung Hatta tetap di Pesanggrahan Menumbing. Ketika perundingan dilakukan saat semuanya sudah berkumpul, Hatta dan sejumlah tokoh yang turun dari Pesanggrahan Menumbing ke Wisma Ranggam,” ungkap Elvian.
Foto-foto yang memerlihatkan Sukarno di Pesanggrahan Menumbing, kata Elvian merupakan foto kunjungan atau kegiatan napak tilas yang diikuti juga masyarakat setempat.
Sementara untuk tempat tinggal, Sukarno tetap berada di Wisma Ranggam yang terpaut sekitar enam kilometer dari Pesanggrahan Menumbing.
“Kalau di Menumbing kan dingin, alasan kesehatan Soekarno tetap tinggal di bawah di Wisma Ranggam. Kedua tokoh bangsa itu juga sengaja dipisahkan untuk memudahkan pengawasan Belanda,” ujar Elvian.
kompas.com