Pasuruan merupakan kota Pelabuhan yang pernah jaya pada masanya. Pada zaman Kerajaan Airlangga, Pasuruan sudah dikenal dengan sebutan “Paravan” . Pada masa lalu, daerah ini merupakan pelabuhan yang sangat ramai, yang dulu dikenal sebagai “Tanjung Tembikar”. Banyak bangsawan dan saudagar kaya yang menetap di Pasuruan untuk melakukan perdagangan.
Di Pasuruan terdapat tiga jenis bangunan sejarah berdasarkan kepemilikannya. Yaitu bangunan milik Pribumi, bangunan milik Kolonial Belanda, serta bangunan milik etnis Cina.
Bangunan Pribumi biasanya ditandai dengan memiliki gaya Jawa yang menjadi identitas lokal seperti pendopo, gamelan dan ornamen lainnya.
Pada bangunan Kolonial Belanda memiliki gaya Indische Empire Style. Bangunan ini merupakan bangunan yang disesuaikan dengan iklim, teknologi, dan bahan bangunan setempat seperti pasir, batu bata, batu kali dan lainnya. Biasanya bangunan ini berbentuk simetris dan terdapat pilar besar layaknya bangunan di Belanda.
Untuk rumah etnis Cina berbentuk gaya campuran antara gaya Indische Empire yang dominan bercampur dengan dekorasi gaya Cina serta beberapa hiasan arsitektur Jawa. Gaya seperti ini akhirnya memiliki julukan Chinese of Pasuruan. Rumah ini juga bentuk dari gambaran hidup keluarga Kwee yang menerapkan budaya Cina, Jawa, dan Eropa sehingga melahirkan gaya suatu gaya arsitektur yang tidak ditemukan di daerah lain.
Satu nama terkenal dari marga Kwee adalah Kwee Sik Poo (1847-1930), pengusaha gula pada awal abad ke-20 dan pernah jadi Mayor Tionghoa Pasuruan. Dia hidup sezaman dengan raja gula Asia Tenggara, Oei Tiong Ham (1866-1924), di Semarang. Di tengah jayanya, keluarga Kwee membangun banyak rumah megah di Pasuruan, dan beberapa masih berdiri hingga kini.
Ini adalah salah satu bangunan keluarga Kwee yang terpelihara baik. Belum jelas siapa yang mendirikan rumah ini. Cicit Kwee Sik Poo, Kwee Hong Sien (lahir 1964) memperkirakan, rumah tersebut dibangun ayah Sik Poo, yakni Kwee Ting Swan (1822-1855) atau malah kakek Sik Poo, Kwee Tjong Hook (1754-1842).
Rumah besar ini dulu dimiliki Kwee Sik Poo, diteruskan puteranya, Kwee Khoen Ling (1879-1946). Khoen Ling sempat menjadi Letnan Cina pada 1918, lantas Kapitan Cina Pasuruan pada 1926-1933, menggantikan bapaknya.
Great Depression yang melanda dunia membuat bisnis Khoen Ling bangkrut, hingga rumah leluhurnya disita Javasche Bank. Dia dan keluarga pindah ke rumah keluarga istrinya, Tan Hing Nio, di Jalan Hasanudin (sekarang dikenal dengan nama Rumah Singa).
Pada 1938 Muhammad bin Thalib, seorang Arab-Yaman, membeli rumah keluarga Kwee tersebut dari Javasche Bank. Muhammad bin Thalib seorang agen mobil Datsun serta pemilik banyak properti, seperti hotel, rumah, dan toko yang tersebar di mana-mana. Di Arab Street, Singapura, saja dia memiliki 15 toko. Muhammad bin Thalib menambahkan tulisan dalam huruf Arab, dan huruf Latin “Daroessalam” di atap teras,
Sepeninggal Muhammad bin Thalib, ada 13 orang yang mendapat warisan rumah ini, salah satunya Fachir Thalib, anak dari istri ke-4. Bagian milik saudara-saudaranya dibeli Fachir, sehingga Fachir menjadi pemilik tunggal Rumah.Daroessalam.
Gaya arsitektur rumah ini menggabungkan elemen-elemen Indis dan Tionghoa. Ada langit-langit tinggi, teras luas disangga pilar, pergola ditutup tanaman rambat, koridor sepanjang rusuk rumah, pintu dan jendela besar, marmer dan ubin yang indah, langit-langit dari metal embos, serta ruang dalam yang luas dan saling terhubung.
Ciri khas Tionghoa tampak dari struktur atap pelana. Permukaannya segitiga dan trapesium dengan sudut kemiringan tajam. Dilihat dari halaman samping, tampak bahwa tinggi atapnya dua kali tinggi dinding. Di ruang dalam terdapat altar sembahyang leluhur dari batu berukir cantik. Sebuah fakta unik mengingat rumah ini telah beberapa dekade dimiliki keluarga Arab-Yaman.
Sepeninggal Fachir, putranya Hanif mengembangkan Rumah.Daroessalam menjadi Daroessalam Hotel Syaria. Elemen elemen yang ada dipertahankan bahkan dikembalikan ke kemegahan semula. Kayu atau ukiran yang dulu sempat dicopot, dipasang kembali. Pengecualian adalah pada lantai. Paviliun kanan dan kiri yang sebelumnya beralas kayu,diganti teraso. Rumah induk menjadi lobi, tiga presidential suite, dan satu ruang pertemuan. Paviliun kiri menjadi enam kamar, serta paviliun kanan menjadi ruang makan dan ruang pertemuan. Dibangun gedung baru yang memuat 24 kamar, sehingga, total menjadi 33 kamar dan dua ruang pertemuan.
Rumah Singa, terletak di Jalan Hasanudin No. 11-14 Kelurahan Karanganyar. Dalam buku profil Cagar Budaya Kota Pasuruan (2015) disebutkan bahwa Rumah Singa ini pada awalnya merupakan rumah orang Belanda yang dibangun pada tahun 1825. Namun kemudian dibeli oleh Tan Kong Seng seorang Kapitan Cina pada tahun 1840-an. Kemudian dilakukan perenovasian, mendatangkan lantai marmer dan pagar besi yang berasal dari Italia pada tahun 1860. Saat ini, rumah tersebut menjadi milik Alan Douglas Rudianto Wardhana Zecha dan tetap dijadikan sebagai tempat tinggal.
Bentuk rumah singa ini berbentuk gaya Indische Empire yang merupakan gaya arsitektur yang diadopsi dari aliran Neoklasik. Neoklasik berkembang di Prancis pada abad ke-18. Gaya seperti ini juga sering disebut dengan gaya Empire Style yang dipopulerkan oleh mantan seorang perwira tentara Louis Napoleon. Setelah itu ia menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke 36 yaitu Herman William Daendels (1808-1811). Gaya bangunan Empire Style ini menyesuaikan dengan iklim, teknologi, dan bahan bangunan setempat yang berada di Hindia Belanda.
Setelah rumah ini ditempati oleh keluarga Kwee, rumah ini dibangun patung singa di bagian halaman rumah. Hal ini yang melatarbelakangi rumah tersebut bernama rumah singa. Membangun patung singa di depan rumah dipercaya agar rumah tersebut selalu aman dan terjaga. Kepercayaan tersebut sejalan dengan kepercayaan yang dianut masyarakat Tionghoa bahwa patung dianggap sebagai dewa pelindung. Tidak heran pula jika rumah tersebut dibangun patung singa, hal ini karena Kwee merupakan salah satu keluarga terkemuka (konglomerat) di Pasuruan yang diberi keistimewaan di bidang perdagangan dan pajak oleh Pemerintah Hindia Belanda. Mereka menguasai perdagangan hasil bumi dan ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk mengatur tata niaga opium.
Rumah Singa berada di depan Gedung Yayasan Pendidikan Pancasila yang awalnya merupakan tempat tinggal Han Hoo Tong pada tahun 1828.
Sumber: Pasuruan Kota Museum, Silvia Galikano, Terakota, Arsminimalis