Aku Diponegoro:
Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh hingga kini
Saat dunia sedang melaju dalam perubahan dimana segalanya menjadi lebih cepat dan, terlebih, digital, museum menghadapi pertanyaan sulit tentang cara menyesuaikan tehnologi baru untuk merangkul budaya partisipatoris. Agar tak ketinggalan, mereka harus menerima tantangan tersebut sementara disaat yang sama mempertahankan fungsi utamanya menjadi pengawal kelestarian warisan dan budaya. Sepenggal kata pengantar dari Dr. Heinrich Blomeke direktur Goethe Institut Indonesia.
Bila kita simak penggalan kata-kata yang disampaikan oleh Dr. Heinrich, bahwa tehnologi saat ini mampu merangkul budaya partisipatoris dalam mengawal pelestarian warisan dan budaya. Ini salah satunya dapat kita lihat bagaimana perpaduan pertemuan koleksi yang ditampilkan dan juga kelihaian curator dalam membuat alur dan display pameran. Koleksi Negara yang berhasil di konservasi oleh Susanne Erhards, yaitu maha karya dari Raden Saleh, Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857) yang disandingkan dengan bermacam gaya dari seniman setelah eranya Raden Saleh sampai yang terkini seperti lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro yang berhasil disajikan dengan rangkaian tulisan babat tanah dengan tehnik-tehnik tertentu bisa menghasilkan tampilan lain dikala lampu berganti dengan lampu ultra violet.
Karya pelukis kontemporer terkemuka Nasirun, menampilkan sisi unik. Nasirum menampilkan 3 sosok Pangeran Diponegro dan Jendral de Kock musuh bebuyutan dikehidupan nyata dalam satu kanvas. Keduanya disatukan oleh keberadaan seniman Raden Saleh. Filosofi yang disampaikan Nasirun, lukisan ini bermain dari metafora bahwa seni dapat mengalahkan kekerasan dan kebencian.
Di area utama ada satu lukisan yang juga sudah merupakan maha karya dan diincar oleh kolektor dunia, lukisan oleh Sudjojono (1979). Lukisan yang berjudul Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro yang mengambarkan pertempuran Kejiwaan pada tanggal 9 Agustus 1826 antara pasukan Pangeran Diponegoro dengan tentara Belanda yang dipimpin oleh Mayor Bernard Sollewijn. Perang yang dimenangkan oleh pasukan Pangeran Diponegoro. Sang pelukis, Sudjojono pernah berkata: “Saya tidak sependapat bila seorang pelukis pribumi yang berasal dari tanah Indonesia melukiskan pahlawannya pada saat ditangkap Belanda dalam keadaan pasrah, loyo, tidak bertenaga.”
Pameran di Galeri Nasional ini sangat ramai didatangi pengunjung. Saat ini sudah melampaui 20.000 pengunjung. Pameran yang dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan tanggal 6 februari ini dikuratori oleh Werner Kraus yang juga sudah menerbitkan buku mengenai Raden Saleh, Peter Carey dosen tamu di UI, beliau telah mengkaji Pangeran Diponegoro dan sejarah jawa di awal abad ke-19 selama hamper seumur hidupnya dan terakhir Jim Supangkat yang terkenal sebagai curator pameran-pameran berskala Internasional.
Pameran ini juga pertama kalinya di Indonesia ditampilkan Tombak Pusaka Diponegoro, Kiai Rondhan. Salah satu senjata kesayangan Pangeran Diponegoro, Kiai Rondhan yang dianggap suci, mampu memberikan perlindungan dan peringatan (wangsit) akan datangnya bahaya. Tombak yang diwariskan kepada putra tertuanya, kemudian dikirimkan kepada Raja Belanda, Willem I (1813-40) bersama pelana kudanya sebagai rampasan perang akhirnya dikembalikan oleh Ratu Juliana tahun 1978 dibaawah ketentuan Kesepakatan Budaya Indonesia-Belanda pada tahun 1968.
Sumber : NN