Salah satu peninggalan benda bersejarah di kota Madiun yang sempat ‘disingkirkan’, namun sampai sekarang masih tetap ada adalah patung banteng Ketaton. Pembuatnya adalah pematung Trijoto Abdullah pada 1947. Patung itu dianggap mencerminkan semangat warga Madiun yang dikenal sebagai ‘the Flame of Java’ dalam menghadapi agresi militer Belanda pertama.
Pematung kelahiran Solo pada 1917 itu awalnya menempatkan karyanya di depan Taman Makam Pahlawan Madiun, yang letaknya persis berada di poros jalan utama kota Madiun. Banteng yang terlihat sedang menunjukkan ekspresi marah itu disandingkan dengan patung seorang pejuang yang membawa bambu runcing. Pada penyangga patung terdapat semboyan, “rawe-rawe rantas, malang-malang poetoeng”
Namun, pada era Orde Baru, patung banteng itu kemudian dipindahkan ke kompleks Stadion Wilis, yang tidak termasuk jalur utama yang dilalui kendaraan. Sayangnya pula, kepindahan patung itu terkesan dilakukan secara asal-asalan. Karena sekarang patung banteng itu berdiri sendiri tanpa didampingi patung sang pejuang. Kondisi patung banteng juga sangat memprihatinkan. Tanduk dan ekornya sudah rusak oleh tangan-tangan jahil. Posisi banteng juga berubah, tidak lagi menghadap ke jalan raya, melainkan ke samping. Menurut cerita sejarah, perpindahan patung itu terkait erat dengan perubahan peta perpolitikan di Indonesia. Karena saat itu, si pembuat patung diduga memiliki kedekatan dengan kelompok kiri. Maka konsekuensinya patung banteng itu pun juga dianggap sebagai simbol pelawanan terhadap pemerintahan yang baru.
sumber:http://indonesia-feature.blogspot.com/2013/05/madiun.html