Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Djoko Pekik “Memiliki Keunikan Disetiap Karya Lukisanya”

Djoko Pekik lahir pada 2 januari 1937 di Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah. Djoko pekik masa kecil bukan seorang yang ahli dalam bidang melukis atau memiliki darah seorang pelukis. Ayah dan ibunya adalah seorang petani yang bisa dibilang miskin sehingga pada masa kecilnya ia harus membantu kedua orang tuanya untuk mencari makan. Namun, bakat melukisnya sebenarnya telah terlihat sedari kecil ketika ia bermain ande-ande lumut, ia berperan sebagai tokoh Kelenting Kuning dan menggambar sendiri baju tokoh tersebut. Djoko Pekik dari kecil menyatakan tidak memiliki cita-cita untuk menjadi seorang pelukis. ia mengungkapkan awalnya ingin menjadi seorang kepala desa dan memiliki seperangkat gamelan. Menjadi seorang pelukis sukses sebuah hal yang sangat jauh dari bayangan dia pada waktu kecil.

Pendidikan Djoko Pekik tidak berjalan mulus, ia tidak lulus sekolah dasar. Setelah itu, ia memilih untuk melanjutkan ke Akademisi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Jogjakarta pada tahun 1957-1962. Kemampuan melukisnya bukan terlahir dari sekolah ini tapi di Sanggar Bumi Tarung yang merupakan sanggar yang berada di bawah asuhan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat). LEKRA adalah sebuah lembaga yang berafiliasi dengan PKI. Lembaga ini konsen terhadap sosial kerakyatan dan menolak imperialisme, kolonialisme dan kapitalisme. Keaktifan Pekik di sanggar ini memberikan hasil ketika lukisanya masuk dalam lima besar lukisan terbaik yang mendapat penghargaan pada tahun1964 dalam sebuah pameran tingkat nasional yang diadakan oleh LEKRA.

Keaktifan Pekik di LEKRA harus dibayar mahal, pasca peristiwa G30/S PKI tahun 1965. Karena pada saat itu semua organisasi atau lembaga yang berafiliasi dengan PKI dibersihkan, orang-orang yang aktif dalam kegiatan tersebut ditangkap dan ditahan. Pekik menjadi tahanan politik mulai 8 november 1965 di penjara Wirogunan. Ia diasingkan dan dimasukan penjara dengan siksaan seperti para tahanan lain, bahkan telinga kirinya sempat mengalami gangguan pendengaran hingga sekarang, karena sering dipukul oleh moncong senjata. Setelah penahanan tersebut Djoko Pekik vakum dalam dunia lukis melukis, namun jiwa melukisnya tak pernah mati hingga ia dilepaskan sebagai tahan politik.

Pada proses penahan kota 1970, Pekik sempat melangsungkan penikahan dengan seorang gadis bernama C.H. Tini Purwaningsih yang secara umur terpaut jauh yakni 14 tahun. Dalam menghidupi kelurganya Pekik berprofesi sebagai tukang jahit,  pada saat itu profesi ini benar-benar tidak mampu menopang kemapanan ekonomi keluarganya. Secercah harapan muncul ketika pada akhir 80-an ada seorang sarjana lukis bernama Astari Rasyid yang menjadikan lukisanya sebagai objek penelitian disertasinya. Setelah diteliti oleh Astari banyak yang membaca karya-karya Djoko Pekik baik dari dalam ataupun luar negeri. Keikutsertaan ia pada pameran di Amerika pada 1989 membuat ia terkenal luas dengan kekontroversian dia sebagai tahanan politik orde baru.

Kontoversial ini membawa Djoko Pekik terkenal di Indonesia, karena banyak majalah dan koran yang meliput pameran ia di Amerika. Hal ini berimbas pada banyaknya kolektor yang mulai memburu karya-karyanya. Karena bagi kolektor lukisan Djoko Pekik mampu melukiskan umpatan serapah kedalam kanvas yang memang bentuk curahan hati Pekik atas kenangan masa lalu. Lukisan Pekik dikenal memiliki keunikan disetiap karyanya, para kolektor berpendapat ia selalu berbeda dalam tiap lukisanya. Hal ini membuat Pekik kurang suka karena banyak yang berburu lukisan nya dan ingin melihat karya nya, hingga lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa ia memakai teknik yang sama dalam tiap lukisanya.

Lukisan ” Indonesia 1998, berburu celeng ” merupakan lukisan yang melambungkan namanya dalam pameran lukisan di Jogjakarta pada tahun 1999 karena lukisan ini terjual dengan harga satu milyar rupiah. Selanjutnya ada lukisan trilogi Pekik yang bagi ia merupakan karya yang paling mengesankan dari ratusan karya Djoko Pekik. Lukisan tersebut adalah Indonesia 1998 Berburu celeng, susu raja celeng serta tanpa bunga dan telegram duka cita.

Lukisan Djoko Pekik merupakan bentuk dari teriakan dia terhadap kungkungan orde baru dan bentuk protes ia terhadap kondisi sosial. Selama hidupnya Djoko Pekik menghasilkan kurang lebih 300 karya. Setelah ia keluar dari LEKRA ia menghasilkan karya yang berjudul  WTS Nagih Janji pada tahun 1966.Tahun 1988 yang berjudul Tukang Becak Main Kartu. Selanjutnya pada 6 Januari 1990, karya lukisannya berjudul Trumpet Seller dengan ukuran 96×132 cm. pada1994, berjudul Termenung. Pada tahun 1996 ia menghasilkan tiga karya yakni, Dua Termenung, Susu Radja Celeng, Wajah Cemberong. Kemudian pada tahun 1998 ia mengahsilkan karya dengan judul Woman.

Pada tahun 1999 merupakan tahun terbaik Pekik karena pada tahun ini karya yang ia hasilkan mampu dihargai sebesar satu milyar dan membuat dirinya terkenal, karya tersebut adalah Indonesia 1998 Berburu Celeng dan Persiapan Pentas. Pada tahun 2000 ia juga mampu menjual karya yang berjudul Majelang Pentas serta A Performance pada tahun yang sama. Pada tahun 2003 ia menghasilkan dua karya yakni Penari Topeng dan Awal Bencana di Lintang Kemukas 1965. Kemudian pada tanggal 22 Maret 2004 ia menghasilkan karya berjudul Ledak Gogik, pada 11 Juni 2004 dua karya ia selesaikan yakni Raksasa Mata Satu dan Wanita Jawa.

Selain itu, beberapa karya lukisan Djoko Pekik yang lain adalah  Yes I am a Whore, Becak Driver is Being Baby, Alit Ambara, Bumi Tarung, Dalang, Drinking a Glass of Syrup, Pasangan Hidup, Small Stone Seeker, Tak Seorangpun Pulang, Wearing a Stagen, Tayub, The Guardian, Traditional Games Seller.

lelang-lukisanmaestro.blogspot.co.id/Image berbagai sumber

Leave a Comment

0/5

https://indonesiaheritage-cities.org/