Paguyuban Pedagang Gudeg Wijilan Yogyakarta untuk kali pertama menggelar Festival Gudeg yang dihadiri ribuan warga di sepanjang jalan.
Festival itu sekaligus menjadi ajang reuni para pedagang perintis di sentra utama kuliner gudeg di Kota Yogyakarta itu.
Slamet Sumoraharjo, 83 tahun, pendiri gudeg Bu Slamet yang sudah berjualan di kawasan itu sejak tahun 1946 menuturkan, gudeg Yogya sebenarnya semula bersifat basah atau berkuah. “Tapi karena banyak pengunjung yang meminta jadi oleh-oleh, lalu dibuat kering biar tahan lama,” kata Slamet di sela festival gudeg yang melibatkan 14 pedagang di kampung Wijilan itu.
Slamet menuturkan, proses pengeringan gudeg terutama dengan cara membuat areh (kuah dari santan) tak banyak mengandung air. Usai dimasak, gudeg itu ditiriskan lalu dikukus hingga air banyak yang terserap.
Slamet mengakui ilmu membuat gudeg diwariskan dari orang tuanya yang sempat menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta.
Pendiri warung gudeg Mbak Lies, Liesdyah Darmawati menuturkan gudeg Yogya tak kehilangan cita rasa gurih dan manis meski dibuat kering.
Meski kebiasaan mengolah gudeg menjadi kering ini sekarang dipertahankan, namun Lies mengaku masih tetap melayani jika ada pelanggan yang memesan gudeg yang dimasak basah seperti khas Solo.
“Kalau dibawa pulang, cocoknya memang diolah kering, bisa tahan 24 jam tanpa pengawet,” kata Lies yang kini juga mengemas produknya dalam bentuk kalengan itu.
Kampung Wijilan sendiri merupakan sentra gudeg cukup terkenal di Yogya. Kampung itu dikukuhkan pemerintah Kota Yogya secara resmi sebagai sentra gudeg tahun 2000 silam.
Meski hanya terdapat 14 pedagang di kampung itu, namun saat masa liburan seperti Idul Fitri atau akhir tahun ini kawasan itu macet oleh wisatawan yang ingin menyantap gudeg di kawasan yang masih berdekatan dengan Keraton Yogya itu.
Sumber : tempo.com