Bagi pematung Bali yang berdomisili di Bandung, I Nyoman Nuarta, patung memiliki tiga kekuatan. Pertama, dapat menjadi ikon di tengah publik dan menjadi milik publik. Kedua, menjadi elemen estetik, sehingga menjadi penghibur mata di tengah kemacetan lalu lintas di perkotaan. Ketiga, dapat menjadi pengikat sebuah kawasan, bahkan penanda simpul untuk mengingat sebuah lokasi.
Banyak patung dibuat sebagai perekam sejarah, sebagai monumen, tapi belum tentu monumental. “Monumental itu, selain menyangkut estetika juga memiliki kekuatan sejarah. Jangan kita berpikir, art for art, seni untuk seni.
Seniman itu berapa orang sih? Bagaimana seni mampu memberikan dampak untuk masyarakat? Seni musik memiliki dampak luar biasa karena medianya canggih, disebarkan lewat udara. Patung patung harus dilihat, tak dapat hadir seperti musik. Kalau melihat patung, orang harus melongokkan badan,” kata lelaki kelahiran Tabanan, 14 November 1951.
Keinginan agar patungnya istimewa dan memiliki efek sosial itulah yang membuatnya bertekad pindah dari lukisan ke patung. “Orang kaya dulu datang untuk membeli lukisan. Tapi saya memilih patung. Jiwa saya ke sana. Di patung kita bermasyarakat. Saat membuatnya harus bekerja sama. Jadi, biar necis jiwa saya jiwa petani, sobat saya pun tukang gali,” ujarnya.
Tekadnya mematung sudah ia tanam selepas bersekolah. Berangkat dari Bali, ia pernah mencoba ke Yogyakarta, lalu ke Jakarta dan berakhir dengan keyakinan studi di Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung pada 1972.
Ketika itu, ia mendapatkan pelajaran dari para maestro seperti Ahmad Sadali, But Muchtar, Srihadi Sudarsono, Mochtar Apin, Rita Widagdo, dan Sunaryo. Ia juga membuat Gerakan Seni Rupa Baru bersama pelukis Hardi, Dede Eri Supria, Harsono, serta pengamat seni rupa Jim Supangkat.
Di ITB, keistimewaan selain pengajaran dan kurikulum, baginya yang lebih penting adalah banyaknya maestro. Itu yang membuatnya memiliki obsesi untuk menyusul jadi pematung.
“Keberadaan tokoh itu penting untuk jadi obsesi. Pernah saya di Yogyakarta, ingin ke rumah pelukis Affandi, sampai di depan rumah, saya lihat dari luar dia duduk di kursi dengan pipa cangklongnya. Saya tak berani masuk. Lihat dia di rumahnya dari jauh itu saja sudah bisa jadi kekuatan untuk saya,” ujar suami Cynthia Nuarta ini.
Dengan semangat masa silam itu, menurutnya hingga sekarang ia tak akan berhenti mematung. Kendati patungnya sudah banyak, membuat patung memerlukan waktu dan tenaga besar. Ia juga melukis. Nuarta mengaku tak akan berhenti untuk fokus ke patung. Ia hanya akan berhenti untuk mematung kalau mati.
Garuda Wisnu Kencana
Salah satu karyanya yang monumental juga fenomenal dan kontroversial adalah patung Garuda Wisnu Kencana (GWK). Sudah lima kali ganti presiden proyek ambisius ini dikerjakannya, mulai dari Soeharto, Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati, Soesilo Bambang Yudhoyono.
Ia sudah bersyukur jika proyek ini tidak ditentang. “Tak ada yang menentang, disuruh lanjutkan, tapi nggak bantu pendiriannya. Itu pun saya sudah bersyukur,” katanya.
Nuarta mengaku, Dewan Perwakilan Rakyat yang sempat mempertanyakan pengerjaan patung GWK belakangan malah memintanya mempercepat pendirian patung yang belum juga rampung itu. Ia kembali tersenyum dan tampak berpikir lagi.
Baginya, pendirian patung GWK memang bukan semudah membalik telapak tangan. Lempeng media patungnya saja sebesar bukit dengan tinggi 140 meter, untuk membawanya perlu 10-12 truk per tiga minggu, dibawa dari Jakarta ke Bali. Namun, ia tetap bersemangat berproses dalam pengerjaan patung GWK yang kini sudah separuh rampung itu.
Saat ditanya banyaknya patung Nuarta yang kontroversial, sebutlah patung Tiga Mojang yang dibangun di sebuah perumahan di kota Bekasi yang sempat dirobohkan, patung Soekarno di Tabanan yang tak diperkenankan pihak birokrasi, hingga Monumen Arjuna Wiwaha yang sempat dipermasalahkan. Ia tersenyum sendiri, tapi seperti berusaha menyelami kedalaman maknanya.
“Patung saya paling banyak diprotes orang. Dari patung Borobudur, bahkan pada mulanya GWK pun menerima protes itu. Patung Arjuna dan kuda ini dianggap memunculkan kehinduan. Padahal yang mengerti tentang figur ini, 60 persennya pasti masyarakat Jawa karena filosofi dan kisah kerakyatannya ada di kebudayaan Jawa,” ujar pendiri patung Jalesveva Jayamahe dan Patung Putri Melenu (Kalimantan Timur) itu.
Ia malah punya obsesi, setelah GWK akan mendirikan museum. “Mau bikin apa lagi? Ya, saya mau cari tempat untuk mendirikan museum. Kampung saya di Tabanan, di sana banyak seniman modern. Kita harus punya museum kontemporer di sana, jangan di Kuta saja. Tabanan ternyata punya banyak seniman nasional, bahkan internasional,” tuturnya.
Mimpi Nuarta yang lain adalah membuat ampiteater. Di sana, seniman dapat berkarya karena ada studio yang besar dan luas, sehingga masyarakat pun dapat menikmati hasil karya mereka.
Sumber : sinarharapan.co