Festival Wayang Nusantara keempat memang telah selesai digelar pada Sabtu malam 5 Oktober 2016. Festival itu ditutup oleh satu pertunjukan wayang yang memukau oleh Paguyuban Bina Laras dari Sawahlunto. Meski pertunjukan telah usai, namun festival wayang tersebut meninggalkan sebuah pesan bahwa kebudayaan yang luhur apapun bentuknya bisa menjadi milik siapa saja.
“Banyak anak-anak Minang yang belajar bermain kesenian Jawa,” kata Sukri salah seorang panitia acara.
Dalam prakteknya memang dapat terlihat dengan mata telanjang bagaimana kebudayaan saling melengkapi dan menyatu di Sawahlunto. Ketika menonton wayang, imagi yang terbentuk biasanya adalah ada wayang yang dinarasikan dalam bahasa Jawa. Kemudian pada sinden yang menggenakan sanggul dan pakaian ala jawa. Namun di Sawahlunto semuanya lebur.
Narasi wayang dalam berbagai kemungkinan disampaikan oleh dalang dengan beragam bahasa. Memang bahasa jawa masih dominan, namun pada bagian-bagian tertentu bahasa Indonesia muncul, begitu juga dengan bahasa Minang. Ini merupakan bukti bagaimana sebuah kesenian telah menjadi milik semua orang. Di sawahlunto sepertinya sangat penting sebuah produk kebudayaan bisa diakses dan dipahami oleh masyarakat dari etnik lainnya. Begitu sebaliknya.
Jika menonton wayang di Sawahlunto, anda tidak akan menemukan sinden yang menggenakan sanggul dan pakaian khas jawa. Setidaknya sejauh pengamatan dalam festival tersebut. Para sinden sudah kebanyakan mengenakan hijab. Islam juga telah membawa perubahan besar bagi semua kebudayaan tak terlepas apakah itu Jawa atau Minang.
Dalam beberapakali pertunjukan musik gamelan, instrumen khas Minangkabau mendapat porsi istimewa. Saluang pada pertunjukan pembuka dipilih oleh komposer Sriyanto untuk memulai pertunjukan musik. Bunyi saluang kemudian dipadukan dengan larik-larik dendang yang menggema di hening malam. Ini bisa juga dipahami sebagai bentuk perhormatan, atau sebagai cara menghargai kebudayaan selain Jawa yang tumbuh dan berkembang membentuk kebudayaan Sawahlunto hari ini.
Festival wayang memang telah usai. Namun anak-anak Minangkabau akan terus belajar bermain gamelan. Sebagian lagi fokus berlatih kuda kepang sekali seminggu. Segelintir pemuda jawa akan terus bersemangat belajar memasang kuda-kuda pada tari galombang saat memulai randai. Mereka akan terus terbuka pada beragam kebudayaan dan kesenian. Beragama kebudayaan yang telah menjadi akar tempat tumbuh masyarakat Sawahlunto.
travel.klikpositif.com/Image travel.detik.com