Foto yang menjadi fokus pembicaraan dalam esai ini direproduksi dari Bandera Wolanda No. 76, 1911, hlm. 5. Berkala ini, yang kaya dengan tulisan dan gambar yang bagus-bagus tentang berbagai tempat dan peristiwa politik di dunia dan di Hindia Belanda, terbit di Amsterdam sejak 1900, dan sempat bertahan sekitar sepuluh tahun. Terajunya dipegang oleh tiga mahasiswa Hindia (Indonesia) yang memiliki talenta jurnalistik yang amat mengesankan: J. E. Tehupeiory asal Maluku (yang malangnya meninggal di Utrecht tahun 1908 karena keracunan gas pemanas kamar tidurnya yang lupa dimatikan) dan dua orang Minangkabau: Abdul Rivai dan Amaroellah gelar Soetan Mangkoeto. Turut memapah dari belakang Tuan Clockener Brousson, pensiunan tentara KNIL yang bersimpati kepada orang Indonesia itu.
Di nomor Bandera Wolanda yang disebutkan di atas (hlm. 4-5) diberitakan pemakzulan “Soeltan Riouw[-Lingga] […] Abdoel Rachman Maädlam [Muazam] Sjah [II]”. Beliau “ditoroenkan dari atas tachta keradjaan” karena “tiada menoeroet perdjandjian sebagaimana jang telah diboeat dengan Goevernement dan tiada memperhatikan keadaan negeri jang bolēh mendatangkan kebaikan bagi boemi poetera.” Tampaknya yang dimaksud dengan “perdjandjian” dalam kutipan itu adalah Kontrak Politik 1905 yang antara lain mewajibkan Kerajaan Riau-Lingga untuk “mengibarkan bendera Belanda di wilayah Kerajaan Riau-Lingga sebagai simbol kekuasaan dan kedaulatan Belanda” dan larangan “agar Kerajaan Riau-Lingga tidak menjalin kerja-sama dengan bangsa atau negara atau kekuatan manapun selain Belanda” (Ahmad Dahlan, PhD, Sejarah Melayu, Jakarta: KPG, 2014:356). Dikatakan pula bahwa “Soeltan ini boekan bangsa Melajoe betoel akan tetapi asalnja bangsa Boegis dan toeroenan dari Radja-Radja Moeda Rouw.”
Sejarah telah mencatat bahwa telah terjadi konflik antara Sultan Abdoel Rachman Muazam Sjah II yang naik tahta tahun 1885 itu dengan Batavia, sehingga beliau dipaksa mundur, kemudian mengasingkan diri ke Singapura. Bandera Wolanda mewartakan bahwa pemakzulan Sultan Abdoel Rachman itu diberitakan oleh banyak media cetak di Hindia Belanda pada waktu itu.
Akibat pemakzulan itu, tahta Kerajaan Riau-Lingga menjadi kosong karena “Poetera Soeloeng” Sultan Abdoel Rachman, Mahmud, “poen tiada diterima akan menggantikan ajahnja.” Seperti telah dicatat dalam buku-buku sejarah, itulah akhir keberadaan Kerajaan Riau-Lingga. Upaya-upaya politik dan diplomatik yang dilakukan oleh kaum bangsawan Riau-Lingga untuk mempertahankan eksistensi kerajaan itu tidak berhasil. (Tentang hal ini, bacalah Ahmad Dahlan, ibid.: Bab XXIII, hlm. 365-81).
Sultan Abdoel Rachman Muazam Sjah II
Bandera Wolanda edisi yang disebutkan di atas memuat foto-foto yang mengabadikan beberapa bagian kota Tanjung Pinang, barang-barang mewah di ruang tamu Istana Sultan Abdoel Rachman Muazam Sjah, foto grup teater Bangsawan, dua foto Sultan dan satu foto Putra Mahkota yang gagal naik tahta itu.
Namun, yang paling menarik bagi saya adalah foto grup teater (“komidi) Bangsawan” itu, yang diperlihatkan di sini. Di bawah foto itu ada keterangan dalam Bahasa Belanda dan Melayu: “Maleis Toneelgezelschap van den gewezen Sultan van Lingga – (Riouw)” / “Komidi bangsawan kepoenjaan Soeltan Riouw”.
Apakah benar Sultan Abdoel Rachman Muazam Syah II memiliki group komedi Bangsawan di istananya? Sejarawan Kepri, Aswandi Syahri, yang saya tanyai mengenai hal ini melalui Facebook, mengatakan bahwa belum ada penelitian yang mendalam tentang hal ini.
Beberapa studi sudah menunjukkan bahwa Bangsawan merupakan salah satu jenis opera Melayu yang sangat dikenal luas di Nusantara, bahkan sampai ke luar negeri. Disertasi Tan Sooi Beng, yang kemudian diterbitkan, Bangsawan:a social and stylistic history of popular Malay opera (Singapore [etc.]: Oxford University Press, 1993), telah membahas dengan panjang-lebar sejarah munculnya seni pertunjukan Melayu ini. Sedangkan Matthew Isaac Cohen dalam artikelnya, “Border crossing: Bangsawan in the Netherlands Indies in the nineteenth and early twentieth century”, Indonesia and the Malay World 30(87), 2002:101-115, memperlihatkan kepopuleran opera Melayu ini di Hindia Belanda dan Hindai Inggris dan bagaimana ia mempengaruhi seni-seni pertunjukan lokal lainnya di wilayah ini. Jan van der Putten pula dalam artikelnya, “Bangsawan: The coming of a Malay popular theatrical form”, Indonesia and the Malay World 42(103), 2014:268-285, melihat perkembangan teater ini dalam konteks dinamika budaya urban yang muncul di kota-kota Nusantara di zaman kolonial.
Yang juga sudah sering didiskusikan adalah aspek pendanaan grup-grup opera Bangsawan ini. Pada abad ke-19, sebelum muncul manajemen teater modern, memang banyak grup teaater di dunia Melayu dihidupi dan didukung oleh maecenas–maecenas dari golongan elit pribumi. Hal ini tidak hanya berlaku dalam konteks kerajaan saja, tapi juga dalam konteks desa, di mana sering ditemukan grup-grup kesenian yang hidupnya ditopang oleh seorang atau beberapa orang elit lokal.
Jadi, sangat boleh jadi (bebrapa) bangsawan Kerajaan Riau-Lingga, seperti Sultan Abdoel Rachman Muazam Sjah II, memiliki grup opera Bangsawan sendiri. Keterangan foto yang menyebutkan “Komidi bangsawan kepoenjaan Soeltan Riaow [Abdoel Rachman Muazam Sjah II]” tentu cukup menjadi pedoman bagi kita bahwa Sultan Kerajaan Riau-Lingga yang terakhir ini adalah seorang maecenas teater Bangsawan di zamannya. Memang dalam kenyataannya hanya elit-elit tradisional yang punya minat senilah yang cenderung melakukan hal seperti ini: mengalokasikan harta dan uangnya untuk menghidupi dunia kesenian.
Tulisan ini dimaksudkan sekedar sebagai pemantik inspirasi untuk melakukan studi historis yang lebih mendalam tentang hubungan seni dan istana di dunia Melayu, khususnya Riau, di masa lampau. Foto klasik ini sendiri, yang mungkin dibuat sekitar tahun-tahun terakhir masa pemerintahan Sultan Abdoel Rachman Muazam Sjah II, tentu dapat dijadikan salah satu referensi bagi penggiat dan pekerja seni yang ingin merevitalisasi teater Bangsawan di Riau.
Beberapa pihak tampaknya mencoba meminta pengakuan UNESCO terhadap teater Makyong sebagai salah satu warisan dunia. Menurut saya yang paling penting adalah menghidup-gairahkan kembali genre-genre teater tradisional Melayu itu di dalam jiwa dan pikiran generasi sekarang. Apalah manfaatnya pengakuan-pengakuan seperti itu, jika dalam kenyataannya Makyong itu sendiri makin jauh dari dunia kesenian kita kini. Dalam kaitannya dengan hal ini, Bangsawan tentu tidak boleh diabaikan, sebab, sebagaimana telah diabadikan oleh foto ini, jenis opera ini pernah menjadi bagian penting dalam tradisi berkesenian di Kerajaan Riau-Lingga.
Akhir kata, bila kita berbicara tentang penghargaan kepada generasi terdahulu, apakah yang patut kita persembahkan kepada arwah Sultan Abdoel Rachman Muazam Sjah II? Saya membayangkan sebuah kota sibuk seperti Batam atau Tanjung Pinang suatu saat nanti memiliki gedung opera yang representatif, yang menjadi tempat bagi warga kotanya dan para pelancong untuk mendinginkan jiwa dan pikiran. Dan gedung opera itu bernama: Gedung Opera Sultan Abdoel Rachman Muazam Sjah II. Mungkin ini sekedar usul atau hanya igauan saya yang mulai didera gigil digigit udara musim gugur Benua Eropa. Tapi sekedar mimpi pun, biarlah!
Dr. Suryadi, dosen dan peneliti Leiden University Institute for Area Studies (LIAS), Universiteit Leiden, Belanda
- Artikel ini, dengan judul yang adak diadaptasi, dimuat di hari Batam Pos (lembar Jembia), Minggu, 1 November 2015
By : Suryadi