”Jembatan Merah, sungguh gagah, berpagar gedung indah. Setiap hari yang melintasi, silih berganti…”
Itulah beberapa kata syair langgam Jembatan Merah karya Gesang. Saat mengarang lagu itu, Gesang memang mengetahui detail tentang Jembatan Merah, sebuah jembatan di Surabaya yang menjadi saksi perjuangan arek-arek Suroboyo di zaman penjajahan.
Kawasan Jembatan Merah merupakan daerah perniagaan yang mulai berkembang sebagai akibat dari Perjanjian Paku Buwono II dari Mataram dengan VOC pada 11 November 1743. Dalam perjanjian itu sebagian daerah pantai utara, termasuk Surabaya, diserahkan penguasaannya kepada VOC. Sejak saat itulah Surabaya berada sepenuhnya dalam kekuasaan Belanda. Kini, posisinya sebagai pusat perniagaan terus berlangsung. Di sekitar jembatan terdapat indikator-indikator ekonomi, termasuk salah satunya Plaza Jembatan Merah.
Perubahan fisiknya terjadi sekitar tahun 1890-an, ketika pagar pembatasnya dengan sungai diubah dari kayu menjadi besi. Kini kondisi jembatan yang menghubungkan Jalan Rajawali dan Jalan Kembang Jepun di sisi utara Surabaya itu, hampir sama persis dengan jembatan lainnya. Pembedanya hanyalah warna merah.
Riwayat Jembatan Merah dari dulu hingga kini, adalah tempat silih berganti yang melintas di atasnya, di kota Surabaya. Namun tercatat dalam sejarah, pada era VOC, jembatan ini begitu vital, merupakan sarana perhubungan melewati Kalimas (pecahan Sungai Brantas yang berhulu di Mojokerto) ke arah Gedung Keresidenan Surabaya – yang kini sudah tak ada lagi. Selain itu, sejarah Indonesia, Surabaya terutamanya, yang sangat identik dengan perjuangan arek-areknya, pada tahun 1945, mempertahankan kemerdekaan bangsa ini. Dengan semboyan “Merdeka atau Mati”, dengan gagah berani, arek-arek Suroboyo dengan senjata apa adanya menghadapi kekuatan penjajah yang menggunakan senjata modern.
Peristiwa yang sangat terikat oleh jembatan ini yang pada masa itu terdapat gedung Internatio ; merupakan markas Pasukan Komandan Brigade ke-49 Inggris, yang bertugas di Surabaya. Tepat pada tanggal 30 Oktober 1945, dari kedua tempat tersebut (Jembatan Merah & Gedung Internatio), terjadi baku tembak, yang mengakibatkan tewasnya Brigjen Mallaby (salah satu anggota Kontak Komisi). Peristiwa tersebut menjadi besar, dan cukup memakan korban, karena baru pada tanggal tersebut (disiang harinya), telah diadakan /ditandatangani Surat Perjanjian Gencatan Senjata, antara Presiden RI Soekarno dan Panglima Divisi 23 Mayjen Hawthorn. Isi perjanjian tersebut adalah diadakan perhentian tembak menembak dan pasukan Inggris akan ditarik mundur dari Surabaya secepatnya. Namun dugaan tewasnya Brigjen Mallaby akibat tembakan milisi Indonesia, mengamuklah para tentara Inggris, dan mengirimkan ribuan pasukannya ke Surabaya. Peperangan pun tak dapat dihindari. Korban pun semakin banyak berjatuhan. Begitulah singkat sejarah yang pernah terjadi di jembatan, yang mencolok dengan warnanya yang berwarna merah. (Adrial- Berbagai Sumber)