Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menengok Masjid Tertua Bercorak Tionghoa

Masjid Jami Kalipasir, Tangerang, berada di tengah pemukiman penduduk keturunan Tionghoa. Memiliki bangunan bercorak etnis China, masjid ini disebut sebagai yang tertua di wilayah Tangerang, Banten. Letak masjid sendiri berada di sebelah timur bantaran kali Cisadane. Persis di tengah pemukiman warga RT: 02/04, Kelurahan Sukasari.

Masjid yang memiliki luas sekitar 16×18 meter persegi itu dibangun pada tahun 1700 M oleh Tumenggung Pamit Wijaya dari Kahuripan Cirebon. Dikisahkan, kedatangan Tumenggung Pamit Wijaya dalam rangka syiar Islam dari Kesultanan Cirebon ke wilayah Banten.

Namun dalam perjalanannya, Tumenggung Pamit, singgah di Tangerang dan mendirikan sebuah masjid. Uniknya, masjid dibangun bersebelahan dengan Klenteng Boen Tek Bio yang saat itu sudah berdiri tegak. Klenteng itu berjarak sekitar 100 meter dari masjid. Walau begitu, kerukunan antara umat tetap terjaga sampai sekarang.

“Cerita yang sampai pada kami, masjid Kalipasir dibangun oleh Tumenggung Pamit Wijaya dari Kahuripan Cirebon,” kata H. A. Sjairodji, ketua DKM Masjid Jami Kalipasir saat ditemui . Menurut Sjairodji, mengenai sosok Tumenggung Pamit Wijaya beserta masjidnya belum tergali secara dalam.

Saat ini, kondisi masjid sudah mengalami banyak perubahan. Hanya dua sisi arsitektur yang masih tetap utuh dipertahankan. Yakni empat tiang di dalam masjid dan kubah kecil bermotif China diatas masjid. Tiang tersebut terbuat dari kayu dan tampak mulai keropos, sehingga harus disanggah dengan sejumlah besi. Sisi lain yang memperkuat nuansa China adalah dominasi warna kuning dan hijau dalam bangunan masjid itu.

Dia mengungkapkan, selanjutnya masjid diurus oleh putra Tumenggung Pamit Wijaya, yakni Raden Uning Wiradilagi Kuripan Bogor, pada tahun 1712. Setelah itu, pada 1740 cucu Tumenggung Pamit Wijaya, Tumenggung Aria Ramdon menjadi Aria Gerendeng II yang menggantikan Maulana Syarif.

Pada perkembangannya, kepengurusan masjid dilanjutkan oleh putra Tumenggung Aria Ramdon, yakni Tumanggung Aria Sutadilaga tahun 1780. “Menurut catatan yang ada, pengangkatan Tumanggung dilakukan dengan cara biscuit VOC pada 16 Februari 1802-1823. Cara pengangkatan tersebut mirip dengan pemberian SK pada jaman sekarang ini,” terang Sjairodji.

Kemudian berlanjut pada 1830 diurus oleh Raden Aria Idar Dilaga. Raden Aria ini yang terakhir diangkat dengan cara biscuit gouverneur general atau komisaris general di Bogor tanggal 14 februari 1827. “Kami sendiri belum bisa memahami adanya keterangan pengangkatan dengan cara tersebut,” ujarnya.

Namun pada tahun 1865, kepengurusan masjid dilakukan seperti biasa, oleh putri Idar Dilaga, yakni Nyi Raden Djamrut dan suaminya Raden Abdullah sampai tahun 1904. Setelah masa itu, putra Nyi Djamrut, yakni Raden Jasin Judanegara membangun menara dan melakukan rehabilitasi. Kemudian pada 1918, bagian dalam masjid juga dilakukan perbaikan, bukan hanya oleh Jasin Judanegara, tetapi juga oleh H. Muhibi dan H. Abdul Kadir Banjar.

“Pada 24 April 1959 sampai Agustus 1961, menara lama diperbaiki dan dirombak selesai pada 1961 hingga sampai sekarang,” terang Sjairodji yang juga masih keturunan H. Abdul Kadir Banjar.

Sejarah yang tidak bisa dilupakan pula adalah kehaditran Hj. Murtapiah yang mengasuh pesantren perempuan bukan hanya di Tangerang, tetapi juga Banten dan Jawa Barat. Sampai sekarang, beliau ditokohkan di kawasan tersebut.

Apa saja kegiatan yang dilakukan di Masjid Jami Kalipasir? Sjairodji mengungkapkan sama seperti masjid lainnya, sebagai tempat ibadah dan pengajian. Termasuk juga pada bulan puasa ini. Hanya saja, pada peringatan Maulid Nabi, warga sekitar membuat perahu besar di kali Cisadane. “Pesan yang ingin disampaikan adalah mengingat dakwah Islam yang dulu pernah dilakukan melalui pesisir pantai oleh para mebaligh,” ujarnya.

 

VIVAnews.com

Leave a Comment

0/5

https://indonesiaheritage-cities.org/