Sebagai pusat perdagangan di Asia pada abad 17, kawasan Kota Tua Jakarta sudah selayaknya menjadi warisan dunia.
Indonesia pun telah mengajukan kawasan Kota Tua Jakarta serta empat pulau di sekitarnya (Pulau Onrust, Cipir, Kelor, dan Bidadari) untuk mendapat pengakuan sebagai warisan dunia dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai jalur perdagangan yang digunakan VOC.
Namun, sejak masuk daftar tidak tetap warisan benda UNESCO pada tahun 2015 hingga kini kawasan Kota Tua masih belum mendapat predikat warisan dunia.
Agar mendapat pengakuan, ada beberapa hal yang mesti segera dibenahi, di antaranya merenovasi bangunan di Kota Tua dan memastikan reklamasi Teluk Jakarta tidak mengubah lanskap asli Pulau Onrust.
Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahuddin Uno meminta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan segera merevitalisasi Kota Tua.
“Pada zaman dahulu, Kota Tua bukan hanya pusat perdagangan di Asia Tenggara, melainkan juga di dunia. Makanya, kami ingin Kota Tua segera direvitalisasi,” kata Sandiaga.
Dengan demikian, menurut dia, usulan ke UNESCO agar Kota Tua dijadikan sebagai warisan budaya dunia dapat disetujui.
Untuk mewujudkan revitalisasi itu, dia pun terus mendorong Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta membuat perencanaan yang perinci.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga meminta Dinas Pariwisata untuk menginventarisasi pemilik gedung-gedung tua agar dapat direvitalisasi.
Kepala Unit Pengelola Kawasan Kota Tua Norviadi Setio Husodo mengatakan proses revitalisasi gedung-gedung di Kota Tua Jakarta memang cukup sulit karena sebagian besar gedung bukan milik Pemerintah Provinsi DKI .
“Sekitar 50 persen dimiliki oleh BUMN, dalam hal ini Perusahaan Perdagangan Indonesia, kemudian 48 persen dimiliki oleh swasta dan perseorangan. Hanya 2 persen gedung di kawasan tersebut yang milik Pemprov DKI,” kata Norviadi.
Ia mengatakan bahwa revitalisasi sepenuhnya adalah hak pemilik gedung, Pemprov DKI hanya dapat menyosialisasikan dan mengimbau para pemilik untuk merevitalisasi gedung-gedung tersebut.
Apalagi gedung-gedung milik pribadi atau perseorangan banyak yang statusnya tidak jelas, ada yang tidak dapat ditemukan ahli warisnya, ada yang sudah dijual, dan ada pula yang ditinggalkan begitu saja.
“Mendata pemilik gedung-gedung yang dimiliki oleh perseorangan memang sulit. Misalnya, kami tahu pemilik lamanya. Namun, ketika kami temui ahli warisnya, mereka bilang gedung itu telah dijual dan mereka tidak tahu gedung itu dijual kepada siapa. Hal ini menjadi kendala kami,” katanya.
Menurut peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2014 tentang Rencana Induk Kawasan Kota Tua luas kawasan tersebut adalah 334 hektare, meliputi Kota Tua, kawasan Luar Batang, Sunda Kelapa, Pelelangan Ikan, hingga Museum Bahari.
Dari bentang tersebut, Novriardi mengatakan bahwa kondisi fisik gedung-gedung di zona inti kawasan Kota Tua, yaitu di sekitar Taman Fatahillah memang cukup baik.
Apalagi, sudah banyak gedung-gedung yang dimanfaatkan sebagai tempat bisnis atau galeri seni.
Kondisi bangunan yang parah dan tidak diketahui pemiliknya banyak berada di belakang Gedung BNI 46.
“Di sana banyak gedung-gedung yang tidak dimanfaatkan lagi, bahkan atapnya sudah roboh,” katanya.
Untuk merevitalisasi gedung-gedung tersebut, memakan biaya yang banyak. Dalam prosesnya, tidak boleh mengubah bentuk asli gedung-gedung tersebut.
Jika para pemilik gedung tidak mampu merevitalisasi, diharapkan mereka dapat menjualnya ke pemerintah daerah.
“Kalau pemilik tidak mampu, tawarkan saja ke pemda agar menjadi aset daerah dan dapat dikelola dengan baik,” katanya.
Selain itu, dia pun berharap ada sinergitas antara BUMN, swasta, dan pemerintah daerah untuk merevitalisasi kawasan penuh sejarah tersebut.
Terdampak reklamasi
Selain masalah tak terawatnya kawasan Kota Tua, reklamasi Teluk Jakarta yang mencapai titik singgung dengan Pulau Onrust menjadi masalah lainnya.
Saat tim penilai dari UNESCO datang melihat pulau-pulau di sekitar situ mereka menanyakan komitmen Pemprov DKI Jakarta terhadap pelestarian Pulau Onrust.
“Mereka sudah meninjau pualu-pulau itu dan menanyakan apakah pemerintah DKI dapat berkomitmen agar Pulau Onrust tidak terganggu reklamasi,” katanya.
Menurut Novriadi, dari rencana reklamasi, akan ada daratan baru yang jaraknya 700 s.d. 800 meter dari garis pantai Pulau Onrust. Hal itu dapat menutup alur perdagangan VOC sehingga gambaran mengenai perdagangan pada masa kolonial tidak utuh lagi.
Selain Pulau Onrust, tiga pulau lainnya tidak terdampak reklamasi.
Salah satu solusi agar kawasan Kota Tua Jakarta bisa menjadi warisan dunia, Indonesia harus menghapuskan empat pulau tersebut dari proposal. Namun, nilainya bukan lagi sebagai jalur perdagangan VOC.
“Bisa saja nilainya diganti menjadi gudang tempat menyimpan rempah-rempah atau yang lain. Akan tetapi, hal itu pasti butuh kajian dari ahlinya,” katanya.
Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Nadjamudin Ramly mengatakan bahwa pihaknya telah meminta komitmen dari pemimpin DKI Jakarta agar reklamasi tidak sampai ke pulau-pulau yang diajukan sebagai warisan dunia.
“Kalau Pemerintah Provinsi DKI memang bisa komitmen dengan itu, proposalnya tidak perlu diubah, nanti kami dapat jelaskan kepada pihak UNESCO bahwa pulau-pulau tersebut tidak terdapak reklamasi,” katanya.
Namun, kalau memang sulit, terpaksa empat pulau tersebut dikeluarkan dari proposal. Menurut dia, Indonesia akan terus berupaya agar kawasan Kota Tua Jakarta dapat menjadi warisan dunia.
“Kami perlu melakukan pertemuan kembali terhadap pihak-pihak terkait untuk membicarakan komitmen menjadikan Kota Tua Jakarta sebagai warisan dunia,” katanya.
antaranews.com