Banyaknya bangunan cagar budaya yang hancur akibat adanya pembiaran yang terjadi secara legal. Pakar arkeologi Supratikno Raharjo menjelaskan hal ini terjadi akibat kurangnya perhatian terhadap bangunan cagar budaya yang seharusnya dilindungi. Pemerintah mengetahui, cagar budaya tersebut butuh revitalisasi. Tetapi tidak dilakukan. “Ini teknik-teknik orang yang mengedepankan aspek komersial daripada yang lain,” tegas Supratikno dalam sebuah diskusi tentang Revitalisasi Cagar Budaya yang diadakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Jumat (2/11).
Saat ini menurutnya ada beberapa permasalahan dalam hal memanfaatkan, mengelola bangunan cagar budaya. Tingginya pertumbuhan penduduk kota secara nasional. Hal ini berakibat adanya ketidakseimbangan pembangunan antara pengelolaan pusaka kota dengan aspek lainnya. Selain itu menurut Supratikno, kota-kota lama menghadapi ancaman kepunahan karena berkurangnya dukungan dari pemerintah daerah.
Faktor ekonomi juga berperan karena adanya tekanan kuat komersialisasi asset tanah. “Ada kepentingan yang bermain. Karena nggak ada aturan,
maka kepentingan yang satu mempush kepentingan yang lain,” jelas Supratikno. Ada pula pelanggaran RTRW (rencana Tata Ruang Wilayah). Hal ini didukung dengan kebijakan yang tidak jelas sehingga sistem pengelolaan menjadi tidak terpadu dan berkelanjutan. Adanya arus urbanisasi yang kuat juga menjadi permasalahan tersendiri dalam memanfaatkan serta mengelola bangunan cagar budaya.
Sementara Yasmin salah seorang pelaku pariwisata, menjelaskan revitalisasi di Jakarta belum berhasil. Hal ini akibat adanya berbagai kepentingan yang turut bermain dalam melakukan revitalisasi. “Belum ada di Jakarta. Belum berhasil. Mana? Lihat aja Pasar Baru, gedungnya sudah mulai hancur, atap-atapnya sudah mulai rusak,” ujar Yasmin. Untuk itu, lanjut Yasmin, perlu ada keseriusan baik dari pemerintah daerah maupun pusat dalam mengelola cagar budaya. Keseriusan ini harus berupa langkah-langkah konkret yang dilakukan pemerintah daerah maupun pusat.
(Nurakhmayani, Foto: berbagai sumber)