Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Budayawan Asrul Sani

Asrul Sani, termasuk sosok budayawan terkemuka Indonesia. Dikenal sebagai penyair, cerpenis, penulis skenario, naskah drama eseis, penerjemah, sutradara teater dan film. Juga pendiri Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) sekarang IKJ. Ia menerima banyak penghargaan dari dalam dan dari luar negeri. Tetapi sumbangannya yang sangat penting adalah Surat Kepercayaan Gelanggang yang disusun tahun 1950 di Rao Sumbar 1927, wafat di Jakarta 2004.

Pada tahun 1950-an, Asrul bersama Usmar Ismail, mendirikan Akademi Teater Indonesia (ATNI) yang telah melahirkan Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Sukarno M Noor, Ismed M., Noor, Tatiek Maliyati. ATNI berusaha mengembangkan tradisi realisme dalam teater seperti di negara-negara barat. Untuk itu Asrul banyak menerjemahkan lakon-lakon dunia baik karya para pengarang Inggris, Amerika, Perancis, Jerman, Rusia. Terjemahan itu memberikan kesempatan kepada murid ATNI untuk mempraktekkan teori yang di pelajarinya. Kemudian Asrul pun lebih banyak menerjemahkan lakon untuk Bank Naskah yang di bentuk oleh Dewan Kesenian Jakarta. Bukan hanya lakon yang dia terjemahkan, melainkan juga roman dan roman pendek. Jumlah lakon dan roman yang dia terjemahkan lebih dari seratus judul. Sayang belum semuanya terbit atau sempat di pentaskan.

Asrul mulai terjun kedunia film dengan menjadi penulis skenario pekerjaan yang terus dia tekuni hampir sampai akhir hayatnya. Sebagai penulis skenario Asrul menjadi langganan untuk memperoleh piala citra. Skenarionya yang pertama disutradarai oleh H. Usmar Ismail berjudul Lewat Jam Malam yang berhasil memperoleh hadiah terbaik dalam Festival Film Indonesia tahun 1954. Skenarionya yang lain yang pernah mendapat piala Citra diantaranya Titian Rambut Di Belah Tujuh, Pagar Kawat Berduri, Bulan Di Atas Kuburan, Al-Kautsar, Jenderal Naga Bonar dan Kejar Aku Kau Kutangkap.

Sebagai sutradara Asrul juga pernah memenangkan hadiah dalam festival film Asia dengan judul Apa Yang Kau Cari Palupi, film-filmnya yang lain yang patut di sebut adalah Bulan Di Atas Kuburan, Jembatan Merah, Kemelut Hidup dan Salah Asuhan. Selain sebagai pekerja film, Asrul juga pemikir tentang perkembangan film nasional. Asrul pernah menjadi Ketua Dewan Film Nasional yang di bentuk oleh Menteri Penerangan berdasarkan konsep yang diajukannya. Konsep itu tidak jalan karena dalam alam orde baru, praktek bisnis dan KKN keluarga Soeharto merajai lapangan dalam segala bidang, termasuk permonopolian dalam impor film dan kepemilikan bioskop, sehingga film nasional menjadi lumpuh. Keadaan perfilman nasional yang menghadapi kebangkrutan, menyebabkan Asrul memusatkan perhatian kepada penulisan skenario dan pembuatan sinetron untuk televisi. Patut dicatat bahwa Asrul banyak membuat sinetron berdasarkan karya-karya sastra klasik dalam bahasa Indonesia seperti Siti Nurbaya (Marah Rusli), Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati). Dengan usahanya itu Asrul hendak mendekatkan karya sastra nasional kepada para penonton televisi yang jumlahnya jauh lebih banyak dari para pembaca roman yang dijadikan dasarnya. Dengan demikian ia pun berharap akan tergugah minat penonton untuk membaca sendiri karya sastranya.

Kalau kita perhatikan, langkah-langkah Asrul baik dalam bidang sastra, teater maupun film, semuanya bersifat strategis. Dia selalu meletakkan dasar pemikirannya untuk langkah-langkah selanjutnya. Dialah yang menyusun surat kepercayaan gelanggang yang kemudian dianggap sebagai konsep dasar Angkatan ’45 dalam kesenian. Dia juga menulis surat Kepercayaan Gelanggang yang lain yang menjadi konsep dasar Lesbumi, Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia) yang dia dirikan bersama H. Usmar Ismail di lingkungan NU. Dia juga menjadi salah seorang seniman yang ikut meletakkan konsep dasar Pusat Kesenian Jakarta yang meliputi Akademi Jakarta (AJ), Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dia anggota AJ, pernah menjadi salah seorang Ketua DKJ dan pernah pula menjadi Rektor IKJ.

Ada kritik terhadap Asrul yang selalu tidak mau menjadi ‘orang kantoran’ sehingga banyak yang kecewa, misalnya sebagian seniman sekitar tahun 1980 menuduhnya sebagai tak pantas menjadi ketua DKJ karena jarang datang ke kantor. Tetapi pada waktu itu Asrul dipilih menjadi salah seorang ketua DKJ bukan karena diharapkan dia akan berkantor setiap hari, melainkan karena kebijakannya dalam bicara diharapkan akan dapat meyakinkan gurbenur yang baru tentang pentingnya Pusat Kesenian Jakarta. Asrul sendiri pernah menyatakan bahwa dia tidak mau terjebak menjadi seorang profesional, karena dia ingin bebas menjelajahi berbagai profesi untuk memberikan bentuk kepada kreativitas yang hendak dicurahkannya.

Asrul tidak akan menjadi lebih besar kalau dia menerima gelar Doktor HC, karena tanpa gelar apa pun dia memang seorang besar yang langka. Tetapi ketika jenazah Asrul sedang dimandikan untuk kemudian dishalatkan di rumahnya, Prof. Dr. Riris Sarumpaet menyatakan Asrul telah iangkat menjadi guru besar. Namun karena prosedur birokrasi yang memakan waktu lama hal tersebut tak dapat dilaksanakan pada saat Asrul sebagai penerimanya masih hidup.

Sumber : tamanismailmarzuki.co.id

Leave a Comment

0/5

https://indonesiaheritage-cities.org/