Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA DIBALIK JUBAH DAN “TUALA” SANG SULTAN (Interpretasi atas Tuntutan Gelar Kepahlawanan & Keistimewaan Daerah)

Seorang penyair Inggris William Shakespeare pernah berkata: What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.” (Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi). Mengutip ungkapan ini maka sayapun kemudian berpikir secara aksiologi bahwa wacana pengusulan gelar Pahlawan yang ramai diperbincangkan saat ini memiliki beberapa nilai penting untuk diperbincangkan.

Wacana ini bukanlah hal baru karena menjadi sebuah perenungan dari gelaran Hari Jadi Lahirnya Ternate dari tahun ke tahun hingga ke-768 saat ini. Hari Jadi Kota Ternate bersandar pada tahun pengusiran bangsa Portugis oleh Sultan Babullah di benteng Nostra Senhora del Rosario Ternate. Inilah yang melatari berbagai diskursus publik yang memenuhi ruang media sosial dikalangan masyarakat Ternate saat ini.

Ilustrasi Pengusiran Portugis oleh Sultan Babullah pada sebuah monumen dalam benteng yang dibangun Portugis, Nostra Senhora del Rosario. Ternate

Secara pribadi sayapun pernah menulis pada kolom Opini Malut Post edisi Desember sepuluh tahun lalu (2008) bertajuk: Sultan Babullah Pahlawan Nasional?. Setahun sebelumnya pula (2007) saya menulis pada kolom dan media yang sama bertajuk: Napak Tilas HUT Kota Ternate ke-754. Pada paragraf kedua tulisan tersebut saya menulis bahwa Melalui tulisan ini kami jadikan sebagai sarana dialog bagi kita bersama untuk bukan sekedar mengenang sebuah romantisme sejarah masa silam dari sebuah kota yang kini merayakan Ultahnya ke-754,
melainkan memberikan interpretasi atas peristiwa sejarah itu sendiri.

Penulis bersama beberapa anggota Tim Perumus Hari Lahir Kota Ternate, Tgl. 08 Juli 2003 di Ruang Rapat Kantor Walikota Ternate.

Sejarah adalah refleksi tentang masa lampau yang dilihat dari waktu kekinian, dan berdasarkan masa lampau dan masa kini, kita berusaha untuk memproyeksikan masa depan. Karena sejarah itu sendiri bukanlah sekedar sebagai urutan fakta atau sebuah kronik yang statis, melainkan sebuah proses yang terus hidup dan selalu berkembang mengikuti laju gerak zaman. Dan dalam konteks ini juga, sejarah bukanlah semata-mata merupakan sebuah realitas faktual yang kosong akan makna dan wacana. Mengutip Prof.Dr.R.Z. Leirissa (Ketua Tim Perumus Sejarah Lahirnya
Kota Ternate) bahwa: “sejarah bukan saja merupakan sebuah realitas tetapi juga interpretasi terhadap realita sejarah itu sendiri”, maka ini teramat penting untuk kita refleksikan sekaligus menetapkan langkah-langkah selanjutnya sebagai implementasi aksi atas refleksi tersebut.

Dalam bukunya Almarhumah Irza Arnyta Djafaar berjudul Jejak Portugis di Maluku Utara terbitan tahun 2007 (foto terlampir(, saya pun menulis tentang ketokohan seorang Sultan Babullah sang Penakluk tersebut. Ditengah “festival” penghargaan dan pemberian gelar kehormatan yang menjadi tradisi setiap merayakan HUT RI dengan sebutan Pahlawan Nasional sungguh telah menggugah kita untuk mempertanyakan kembali sejauh mana negara menilai peran para Sultan Moloku Kie Raha dalam mempertahankan kedaulatan wilayah Nusantara yang
kini menjadi Indonesia.

Demikian halnya dengan yang saya tulis dalam buku berjudul Ternate, Sejarah, Kebudayaan dan Pembangunan Perdamaian terbitan tahun 2008 (baca hal 14-23). Sesungguhnya inti dari berbagai tulisan saya tentang Sang Penakluk tersebut adalah sebuah protes kepada otoritas negara dalam menakar dan menilai masing-masing peran para Sultan negeri ini. Pertanyaan besarnya adalah bukankah dimasa lalu para Sultan dari Moloku Kie Raha yang menguasai sepertiga dari wilayah kekuasaannya adalah kini menjadi NKRI?

Foto 1 (kanan): Buku karya Almarhumah. Irza Arnyta Djafaar (salah satu diantara Tim Perumus Hari Jadi Kota Ternate). Foto 2 (kiri) Salah satu buku karya Penulis

Pada tahun 2008, selaku Ketua Panitia Seminar Nasional Legu Gam saya berdiskusi dengan Almarhum Yang Mulia Sultan Mudaffar Sjah terkait topik seminar yang akan digelar saat itu, akhirnya kami bicara soal Masyarakat Adat dan Perumusan Kebijakan Negara yang diseminarkan di Bella Internasional Hotel Teraate. Ada yang menarik dari pertanyaan seorang peserta seminar saat itu yang bertanya soal daerah Istimewa kepada Yang Mulia Sultan Mudaffar Sjah. Dan beliaupun menjawab bahwa “jika sekiranya kita meminta kepada negara untuk mengakui keistimewaan daerah kita maka itu sama saja dengan kita tidak mengakui keistimewaan daerah sendiri sehingga harus meminta untuk diakui”.

Sungguh Pernyataan/jawaban ini sederhana namun sangat dalam bagi kita jika dipahami secara filosofis atas isi pernyataan seorang Sultan kharismatis yang juga pernah bergelut dalam ilmu Filsafat. Karena sarat filosofis maka pernyataan inipula akan melahirkan multi tafsir, beragam sudut pandang dan kepentingan tentunya. Demikian pula akan sama kadarnya jika kita bertanya tentang peran para Sultan Moloku Kie Raha dan gelar kepahlawanan sebagai pengakuan dari negara (pemerintah) sekaligus pengakuan keistimewaan daerah tempat kerajaannya yang tersohor itu berdiri.

Bukankah RA Kartini dianggap sebagian kalangan hanya berjuang dari Kamar? segenap pemikirannya yang tertuang dalam buku berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) menjadi bukti bagaimana perjuangan Kartini mengangkat harkat dan martabat kaumnya. Namun, muncul pandangan bahwa keotentikan dan orisinalitas pemikiran-pemikiran Kartini dalam surat-suratnya diragukan dan tidak terlihat kritik tajam buat Belanda sebagai
bentuk perjuangannya demi kemerdekaan Indonesia.

Atas realitas ini kemudian muncul beragam pandangan pula bahwa karena di Indonesia ketika berkuasanya rezim Orde Baru, kultur jawa begitu kuat, maka pahlawan-pahlawan dari Jawa diberikan apresiasi lebih. Tak hanya RA Kartini, masih terdapat sejumlah nama lainnya yang dianggap tak pantas menyandang gelar Pahlawan Nasional karena dinilai sebih sebagai seorang Penghianat daripada sebagai Pahlawan.

Tanggal 9 April 2013 telah dilaksanakan Seminar Nasional sebagai salah satu rangkaian kegiatan Festival Legu Gam saat itu. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi persyaratan Pengusulan Pahlawan Nasional. Seminar ini dilaksanakan oleh Panitia Festival Legu Gam 2013 bekerjasama dengan Pemerintah Kota Ternate dan Yayasan Saloi. Seminar dibuka oleh H. Burhan Abdurrahman (Walikota Ternate). Keynote Speakers diberikan oleh Drs.HM. Mudaffar Sjah, Msi (Sultan Ternate). Makalah Utama disajikan oleh Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum (Sejarawan-Universitas Indonesia), Dr. Syahril Muhammad, M.Hum (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia-Maluku Utara), dan saya selaku Dewan Pakar Kesultanan Ternate saat itu.

Foto 1 (kiri): Penulis bersama narasumber lainnya saat Seminar Epos Kepahlawanan Sultan Iskandar Muhammad Djabir Sjah. Dari kanan Ismit Alkatiri (Moderator), Penulis (Dewan Pakar Kesultanan Ternate), Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum (Sejarawan-Universitas Indonesia), Drs.HM. Mudaffar Sjah, Msi (YM. Sultan Ternate), Dr. Syahril Muhammad, M.Hum (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia-Maluku Utara). Foto 2 (kanan): Penyerahan Lukisan Sultan Iskandar Muhammad Djabir Sjah oleh Bpk. Walikota Ternate (Dr.H. Burhan Abdurrahman, SHM.MM) kepada Yang Mulia Sultan Ternate (Drs. H. Mudaffar Sjah, MSi) seusai seminar didampingi Bpk. Wakil Walikota Ternate yang juga selaku Ketua Umum Festival Legu Gam 2013 (Ir. ArIfin Djafar, MBA. MSi).

Seminar ini diikuti oleh kalangan akademisi, cendekiawan, alim ulama, tokoh adat, kaum perempuan, LSM, media lokal, para Guru dan pelajar. Setelah mendengarkan paparan Keynote Speak dari Sultan Ternate dan para pembicara serta diskusi yang berlangsung dengan peserta Seminar maka dirumuskanlah beberapa poin rumusan sebagai berikut:

1. Terdapat aspirasi dari kalangan masyarakat Ternate khususnya dan Maluku Utara pada umumnya untuk mengusulkan Sultan Iskandar Muhammad Djabir Sjah sebagai Calon Pahlawan Nasional Republik Indonesia.

2. Mempertimbangkan faktor-faktor kekuatan dan kelemahan perjuangan Sultan Iskandar Muhammad Djabir Sjah sebagai usulan untuk dicalonkan sebagai Pahlawan Nasional untuk itu perlu ditindaklanjuti dengan penggalian sumber-sumber yang otentik dalam rangka penyusunan Biografi tokoh yang bersangkutan secara konprehensif sesuai dengan prasyarat yang telah ditetapkan.

3. Seminar mengusulkan untuk segera menetapkan sebuah kepanitiaan (TP2GD) yang akan melaksanakan tugas-tugas berkenaan dengan butir ke-2 (dua) diatas sebagai persyaratan untuk diusulkan sebagai salah satu syarat pengusulan Calon Pahlawan Nasional. Berdasarkan rumusan tersebut dan diiringi dengan diskusi, maka Forum menyepakati secara bersama untuk menetapkan Kesimpulan untuk Merekomendasikan dan mengusulkan kepada pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Sosial untuk mengangkat dan mengukuhkan Yang Mulia Sultan Iskandar Muhammad Djabir Sjah sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia.

Singkat cerita, hingga selesai rampungnya berbagai persyaratan kami siapkan namun lagi-lagi harus terganjal dengan salah satu poin persyaratan pada saat itu bahwa sang calon yang diusulkan harus memiliki sebuah bukti penghargaan (piagam) yang diberikan oleh negara (pemerintah) atas prestasi, karya sebagai pengakuan terhadap jasa-jasanya bagi perjuangan kemerdekaan dan dilampirkan dalam dokumen pengusulan. Inilah yang kemudian ditafsirkan sebagai salah satu bentuk pengekangan/pembatasan secara sengaja atas maraknya usulan dari
daerah-daerah di Indonesia terkait para tokoh daerahnya masing-masing sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia.

Terlepas dari semua sudut pandang dan kepentingan tersebut saya teringat sebuah Dola Bololo (sastra lisan Ternate) “To siici ri diri sabab to waro ma rahasia”, artinya: Ku kecilkan (tak menyombongkan) diriku sebab kutau rahasianya”. Arti dan hikmahnya bahwa dibalik semua rahasia itu tersimpan setumpuk langit misteri kehidupan yang tak terpecahkan dan penuh hikmah pembelajaran berarti bagi kehidupan, patut kita gali dan kaji atas segala peristiwa sejak zaman Momole hingga Kolano di negeri ini, negeri penuh misteri dibalik “jubah” dan “tuala” para
Penakluk dan Pahlawan nan Abadi Dunia dan Akhirat dihati dan sanubari Bala Kusu se Kanokano (rakyat) Buldan Moloku Kie Raha. Negeri para Raja.

Wallahualam Bissawab.In shaa Allah bermanfaat. Aamiin YRA.

Penulis: Rinto Taib, S.Sos. Msi. (Tim Perumus Sejarah Lahirnya Kota Ternate & Tim Peneliti
Pengkaji Gelar Daerah /TP2GD Kota Ternate)

Leave a Comment

0/5

https://indonesiaheritage-cities.org/