Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JI LAK KENG LAS VEGAS JAKARTA ABAD 18

Di tempat ini  RT 9 RW 12 dan RT 4 RW 5, Kelurahan Roa Malaka, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat,  pada abad ke-18, disebut jalan “Ji Lak Keng” atau 26 bangunan. Disebut Ji Lak Keng karena air Sungai Angke mengalir didepan 26 rumah dan berlantai dua semua. Dahulu warga setempat biasa menggunakan air sungai untuk mencuci beras bahkan untuk minum. Pada satu masa, kawasan JiLak Keng, menjadi “Las Vegas”-nya Batavia pada pertengahan abad ke-18. Ji Lak Keng menjadi salah satu tujuan wisata utama dunia orang-orang kaya dan kaum pria ningrat dari mancanegara. Lantai bawah umumnya digunakan untuk mengisap madat, sedangkan lantai atas untuk prostitusi. Namun kebanyakan pelanggan memilih yang pertama, tempat asap tebal candu setiap malam bergerak naik, masuk ke sela lantai kayu kamar-kamar bordir di atas, bercampur dengan tawa renyah dan bisik-bisik pasangan laki-laki dan perempuan. Di luar, terdengar musik gambang kromong yang menggoda.
Para pemilik rumah lainnya memilih menjadikan lantai satu sebagai ruang madat dan lantai dua sebagai tempat judi. Tempat judi dan tempat para pria menuang tuak ditemani para pekerja seks komersial (PSK) yang tampil dengan busana ala para penari cokek. Hiruk-pikuknya terdengar dari sore hingga pukul 24.00.Jenis judi yang dilakukan adalah judi kartu top. Sementara yang menjadi PSK kala itu umumnya adalah para perempuan peranakan pribumi atau kiau seng. “Ayah China, ibu pribumi “. Tradisi ini berawal dari para penari cokek dari kalangan pribumi yang diambil pria China sebagai perempuan simpanan. Ketidakpastian hubungan di antara pasangan-pasangan itu lalu membuat anak-anak mereka memilih jalan pintas sebagai PSK.

Seiring dengan berjalannya waktu, pamor Ji Lak Keng mulai memudar. Apalagi rumah-rumah prostitusi dan madat di kawasan Glodok mulai berkembang. Sekitar tahun 1930 an, Ji Lak Keng sudah menjadi kawasan perdagangan produk logam seperti paku, seng, besi-besi beton, dan berbagai perkakas dari besi lainnya. Sementara di seberang, jalan, di tepi Kali Ji Lak Keng, ada depot bahan bangunan. Pedagang dengan menggunakan perahu dan rakit yang membawa pasir dari Tangerang menjual pasir mereka ke depot itu. Saat itu ada beberapa depot di sana.
Tahun 1940 an, tempat madat sudah bergeser ke kawasan Jalan Pa Tek Wan (Delapan Teh Poci) yang sekarang bernama Jalan Perniagaan Raya, bersebelahan dengan Jalan Perniagaan Barat (Jalan Ji Lak Keng). Suasana di Ji La Keng kian redup. Jam delapan malam sudah sepi.

Tahun 1950-an, sepeda motor 50 cc mulai tampak hilir mudik di depan rumah toko obat Lay An Tong. Suasana di Ji Lak Keng mulai ramai kembali. Memasuki tahun 1960-an, kawasan tersebut mulai menjadi kawasan perdagangan yang padat. Namun, pada awal 1980-an, kawasan perdagangan ini mulai kalah populer dengan kawasan perdagangan dan pusat-pusat perbelanjaan baru yang tumbuh di sekitarnya.

Kini ditempat yang sama berubah menjadi jalan Perniagaan Barat. Air Sungai Angke kini tampak hitam kotor  tak terawat serta mengeluarkan bau tak sedap.  Tumpukan sampah tampak disisi sungai, bahkan tak sedikit sampah yang mengapung dipermukaan air sungai. Kondisi ini diperparah dengan lalu lintas di sekitarnya yang macet. Puluhan mobil boks dan berbagai jenis kendaraan lainnya tumpah ruah di sepanjang jalan Perniagaan maupun Perniagaan Barat. Dari 26 bangunan lama yang berjajar, kini hanya tinggal lima bangunan yang masih orisinil. Salah satu diantaranya bangunan bergaya Cina Toko Obat Lay An Tong. Sebagian besar pemiliknya pindah atau mengontrakkan bangunan kepada orang lain sebagai tempat usaha. (NURAKHMAYANI)

Leave a Comment

0/5

https://indonesiaheritage-cities.org/