Sungguh memesona dan tragik cerita Ken Arok dengan hunusan Keris Mpu Gandring itu. Sebuah babad alih kuasa berdarah yang menjadikan keris sebagai alat untuk merebut kekuasan itu menjadi begitu popular dalam jagat perkerisan Nusantara. “Legenda ini tak tuntas,” sumpah Mpu Gandring kepada Ken Arok dan para keturunannya. Sebuah pesan “berdarah” yang menyertai eksistensi keris, bukan saja sebagai senjata tapi juga sejarah manusia. Keris menjadi begitu luas dimensinya.
Cerita Ken Arok yang diambil dari Kitab Pararaton itu memang begitu melegenda hingga kini. Tapi sumpah ini seolah menguap begitu saja. Kutuknya tak 100 persen terpenuhi, bahkan cerita yang tersaji juga memiliki interpretasi berbeda dalam beberapa versi. Bahkan wujud Keris Mpu Gandring sendiri, menurut para peneliti keris, tak terlacak dengan jelas bentuk (dhapur), dan pamornya hingga saat ini.
Persoalan yang muncul kemudian, keris sudah terlanjur sangat dikenal melampaui zamannya. Bak ilmu pengetahuan, dunia perkerisan berkaitan erat dengan berbagai (disiplin) ilmu. Mengingat, banyak sekali cerita yang melingkupinya. Dari soal kuasa, mitos, hingga nilai ekonomi yang berperan begitu kuat di dalamnya.
Di samping itu, ia juga menyimpan berbagai hal yang terkait dengan mitos, filsafat, agama, sejarah, arkeologi, antropologi, sosiologi, metalurgi, sampai dunia perklenikan. Belum lagi urusan propaganda “politik” yang dimainkan melalui cerita keris.
Dan yang tak boleh diabaikan adalah keris merupakan benda seni yang menawan dan senantiasa diincar oleh para kolektor. Banyak sumber bilang, konsep dasar yang membangun citra keris sebagai benda seni, sarat dengan simbol yang menyiratkan berbagai makna. Seperti dalam konsep kebatinan Jawa, Manunggaling Kawula- Gusti, yang disimbolkan lewat kesatuan keris dengan sarungnya yang berarti kemanunggalan makhluk dengan junjungannya.
Senjata Nusantara
Keris dari sejarahnya merupakan salah satu bentuk senjata tradisional yang berkembang di Nusantara, terutama Jawa. Ia bersanding dengan bereragam senjata tradisional lainnya seperti pedang, tombak, golok, belati, pisau, parang, dan sebagainya. Dari sekian banyak senjata tradisional yang ada di Nusantara, keris disebut-sebut yang paling sohor dan dikenal secara luas, baik dari sisi filosofi, penamaan, bentuk, bahan tempaan, penyebaran sampai kreasi rupanya. Ia bahkan dikeramatkan dan diyakini memiliki tuah serta kekuatan supranatural. Keris dianggap paling sempurna.
Sebagai senjata tikam, pencitraan keris, yang dikenal dengan istilah tosan aji atau wesi aji ini, sering diartikan sebagai benda yang bernilai atau yang dimuliakan. Termasuk senjata tosan aji lainnya adalah tombak, pedang, wedhung, kudhi, badik (Sulawesi), tumbuk lado (Sumatra Barat), rencong (Aceh), patrem dan cundrik. Dalam perjalanan waktu, keris menjadi tosan aji yang paling utama dalam dunia seni tempa senjata, tak saja di Jawa, tetapi juga di wilayah Indonesia lainnya.
Seturut sejarah, keris mulai dikenal di Nusantara pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-14), dan Kerajaan Mataram (abad ke-17 s/d 18). Sedang pengaruhnya banyak mengikuti keyakinan animisme-dinamisme, serta peranan agama-agama di Nusantara, seperti Buddha-Cina dan Hindu-India, sampai Islam. Itu membuat keris berkembang pesat dari sisi bentuk, kualitas tempaan, dan tentunya kreasi-inovasi artistiknya.
Lantas muncul apa yang disebut tangguh, yang dalam dunia perkerisan dikenal dengan odel atau gaya keris menurut zamannya. Ada tangguh Pajajaran, Majapahit, Tuban, Sedayu, Demak, Pajang, Mataram, Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta. Yang tampil dalam beragam bentuk leres atau lurus, dan lekuk atau luk, dari pamor dan dhapur. Menurut Kitab Jitabsara, untuk keris yang berlekuk, semuanya berjumlah ganjil, dari Luk 1 sampai 21. Sedang secara keseluruhan dhapur keris dan tombak, di zaman kuno lebih kurang berjumlah 180 dhapur.
Menurut buku “Keris Jawa, antara Mistik dan Nalar,” karangan Haryono Haryoguritno, keris adalah sejenis senjata tikam atau tusuk asimetris khas yang berasal dari Indonesia. Ia tersebar hampir di seluruh Kepulauan Nusantara, kecuali Maluku dan Papua, kendati dari temuan arkeologi dan sejarah yang menyatakan bahwa keris-keris generasi awal banyak dibuat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Namun, meski sebagai senjata tikam toh keris bukan semata-mata dibuat untuk membunuh.
Sebagaimana hasil penelitian Jauhari, lulusan Jurusan Kriya Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, keris lebih bersifat sebagai senjata dalam pengertian simbolis spiritual, yakni sifat kandel alias sebagai pembangkit rasa percaya diri. Dan dalam konteks yang lebih luas, keris merupakan salah satu atribut busana dan ubarampe yang senantiasa menyertai dalam berbagai upacara adat Jawa.
Sementara, menurut muasal katanya, yang bersumber dari Pangeran Hadiwidjojo (Keraton Surakarta), keris berasal dari bahasa Jawa Kuno, kris, yang dalam bahasa Sansekerta berarti menghunus. Ada juga yang menyebutnya berasal dari haris, yang artinya menjaga keselamatan diri. Sedang dari sisi ejaan dalam literatur Barat, dikenal banyak istilah: kris, karis, calis, crist, creis, creest, kriss, dan krees. Di ranah Minang dikenal dengan sebutan kari, di Sulawesi Selatan, tappi, dan di Minahasa disebut kekesur.
Sedang dari sisi penggunaannya keris banyak tersebar dalam rumpun Melayu. Saat ini, keris sudah semakin umum dikenal bukan hanya di Jawa, Madura, Bali, Lombok, tapi juga Sumatera, sebagian Kalimantan, Sulawesi, bahkan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Brunei, Philipina, dan Thailand.
Keris Indonesia yang sudah sejak lama dikenal di dunia internasional ini memang baru diakui secara khusus, pada 25 November 2005, di Paris, Perancis, setelah mendapat pengakuan resmi secara Internasional dari UNESCO, sebagai salah satu bentuk dari Warisan Pusaka Dunia sebagai: A Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity. Mahakarya agung warisan umat manusia.
Mitos dan Keyakinan
Jagat keris memang menarik untuk dikaji dari berbagai aspek, baik “dunia dalam” (isoteris) yang menyangkut obyek material, maupun dimensi luarnya (esoteris), yang menyangkut mitos, tahayul, juga kekuatan sisi supranatural (extra ordinary). Semuanya bisa saling terintegrasi, saling mengisi, tak terpisahkan. Tapi justru dengan semua itulah keris menjadi semakin laris untuk diperjual-belikan.
Semula, asumsi yang muncul dan berkembang di dunia keris seolah hanya dunia kasekten atau kesaktian belaka. Dalam hal ini, keris menjadi sekadar medium untuk survival atau malah menyerang lawan, untuk memuluskan kejayaan.
Seperti dituturkan rohaniwan dan budayawan Sindhunata, Bahwa sejak zaman raja-raja dulu, kekuasaaan hampir selalu direbut dan dimiliki bukan dengan cara alami dan manusiawi, tapi dengan kekuasaan, keris dan darah. “(Perebutan kekuasan) ini yang kerap menyimpan dan meninggalkan dendam,” kata salah satu inisiator dari pameran keris bertajuk “Wangkingan Kebo Ijo,” yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta tahun lalu itu.
Lihat saja, legenda beberapa keris pusaka terkenal dari Keris Mpu Gandring, Kyai Sengkelat, pusaka kerajaan Majapahit. Kyai Carubuk, pusaka Sunan Kalijaga, Kyai Nagasasra-Sabuk Inten, keris pusaka kerajaan zaman Demak- Pajang, yang dibuat pada zaman Majapahit, dan seterusnya.
Kisah-kisah seperti itu yang senantiasa abadi dalam memori kolektif bahwa keris adalah kisah ‘heroik’ yang penuh dengan cerita sejarah manusia, kekayaan batin, dan kerohaniannya. “Keris dapat memunculkan interpretasi dan persepsi bagi yang melihat atau mendengarnya.
Kebanyakan akan tergiring ke arah yang irasional. Biasanya dihubungkan dengan sesuatu yang gaib, tidak nyata, luar biasa, dan cerita seputar keris adalah yang aneh-aneh, berbau takhayul, dan menakutkan,” terang Pramono Pinunggul, seorang seniman patung dan pandemen keris dari Yogyakarta.
Sebagai produk senjata tajam yang berbau mistis di Indonesia, anggapan itu tak sepenuhnya salah. Secara subjektif, pencitraan ini justru menjadi salah satu faktor mengapa keris hingga saat ini masih digandrungi oleh para pencintanya. Namun, hal tersebut tak lantas bisa menggeneralisir bahwa keris identik dengan hal-hal mistis. Sebab, keris juga mengandung aspek seni yang bernilai tinggi dan fungsional sebagai representasi dari puncak peradaban manusia. Ia benda seni yang meliputi seni tempa, seni ukir, seni pahat, seni bentuk, serta seni perlambang. Selain itu, keris juga merupakan produk aksesoris yang digunakan dalam acara seremonial tertentu.
Secara tradisional, penggarapan keris disertai doa atau mantera, serta upacara dan sesaji khusus. Yang intinya, memohon kepada Yang Maha Kuasa, agar keris yang dibuat tak akan mencelakakan pemilik atau orang lain. “Memberi roh spiritual melalui laku menjadi sesuatu yang wajib dilakukan demi kelancaran selama proses penggarapan keris,” tutur Ki Sungkowo Haroembrodjo, pengrajin keris, penerus Mpu Djena Haroembrodjo, dari Moyudan, Sleman, Yogyakarta.
Pramono Pinunggul, pendiri Lingkar Kajian Keris (LKK) Yogyakarta itu bilang, bagi yang percaya, keris tertentu dapat menambah keberanian dan rasa percaya diri. Selain juga, dapat dimanfaatkan tuahnya. “Benda ini dianggap bisa memberikan bantuan keselamatan bagi pemilik dan orang-orang di sekitarnya.
Seperti menghindarkan serangan wabah penyakit dan hama tanaman. Juga menyingkirkan dan menangkal gangguan makhluk halus,” jelasnya saat dijumpai. Malah karena kekuatan itu, konon tak semua orang berani mengoleksi keris sebagai benda seni. Karuan saja keris kemudian hanya dinikmati oleh mereka yang memang mengerti, memahami, menghargai, dan mencintai benda seni tempa itu.
“Tak mudah mencari kebenaran dalam keris. Walau juga bukan tak mungkin, ini butuh proses dan waktu yang lama. Mengingat dimensinya yang luas, baik sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi,” imbuh kolektor keris yang akrab dengan panggilan Ki Prampin ini.
Padahal, seturut pengrajin keris dari Nglawisan, Muntilan, Heru Susilarto, proses pembuatannya keris sebenarnya tak jauh beda dengan benda-benda seni kriya lainnya, seperti ukir kayu, batu, bambu, besi, dan sebagainya. “Yang sangat membedakan justru pada kisah-kisah magis yang dibangun bersama kehadiran keris tersebut.” Heru memberi alasan seraya menambahkan, karena kisah-kisah magis itulah menjadikan keris sulit untuk di-produksi massal.
Mpu atau Pengrajin
Bicara keris, tentu tak akan lepas dari peran pembuat keris atau yang biasa disebut Mpu. Bagi para pandemennya, keris diyakini sebagai sebuah hasil dari proses cipta, rasa, karsa, dan karya. Cipta terkait dengan bekal pengetahuan, pengalaman, wawasan seputar simbolisme, dan hasil olah cipta sang Mpu.
Rasa, terkait dengan sikap rendah hati, dan kepekaan akan keindahan, keseimbangan dan keadilan, terkait etika dan estetika. Karsa, memiliki kemauan dan niat yang kuat sebagai pengemban tugas yang mulia. Sedang Karya, lebih terkait ke asas manfaat dan keagungan: etis, estetis, simbolis dan spiritual.
Mpu dahulu dikenal dengan nama pandhe sinyan-sinyan atau pembuat senjata. Pekerjaan ini dianggap pekerjaan yang penuh dengan bahaya dan misteri. Maka para pelakunya pun dipandang sebagai manusia yang memiliki kelebihan khusus, supranatural. Tak heran jika laku spiritual akan dijalankan sejak keris dibuat oleh Mpu hingga disimpan oleh pemiliknya.
Menurut sejarah kelahiran keris di Jawa, pertama kali dibuat oleh Mpu Ramadi, tahun Jawa 142, hingga era Mpu Sura, tahun 1429, yang begitu dikenal luas oleh para pandemen keris.
Akan halnya sekarang, fenomena empu sohor zaman bahoela itu jarang ditemukan. Yang ada adalah pengrajin keris, yang bahkan justru dilahirkan dari kampus kesenian. Sebutlah Ki Daliman. Cukup dikenal sebagai pengrajin keris, ia sendiri bukan keturunan seorang Mpu. Seni tempa diperolehnya saat menimba ilmu di bangku sekolah teknik.
Ia mulai serius saat dipercaya Gendon Hoemardhani, mantan Direktur Akademi Seni Karawitan Indonesia (sekarang Institut Seni Indonesia), Surakarta. Bersama rekan-rekannya pembuat keris lainnya, seperti Yantono, Subandi, Suyanto, mereka belajar secara otodidak, sejak tahun 1980-an di bengkel kampus tersebut.
Dari sinilah ribuan keris berpamor tradisi (pakem) telah dibuat. “Karya terakhir saya adalah keris berluk 5, bersimbol Garuda Pancasila, bilah berukuran panjang satu meter, yang dikoleksi orang Swiss,” tutur Ki Daliman yang saat ini telah memiliki besalen di dekat Padepokan Lemah Putih, milik seniman tari, Suprapto Suryodarmo itu.
Lain lagi cerita Heru Susilarto. “Saya tidak mau di sebut Mpu. Penamaan ini terlalu besar nilai moral dan tanggungjawabnya. Saya hanya mau mengikuti naluri saja. Makanya, cukup sebagai penggarap atau pengrajin saja,” tukas pengrajin keris jebolan Fakultas Teknik Universitas Negeri Surakarta itu, merendah. Hasil penelusuran penulis ke beberapa penggemar keris, banyak yang mengatakan jika karya-karyanya tak kalah dengan buatan para Mpu di zamannya dulu.
Pantas saja Heru tak sembarang melepas garapannya begitu saja. Ia selalu menekankan emosi dalam setiap karya, agar bisa rileks dan mengikuti rasa dalam bekerja. “Keris itu ilmu pengetahuan, di mana di dalamnya ada teknologi yang kemudian berkembang sedemikian rupa dalam fisika, kimia, matematika, dan sebagainya,” ujarnya.
Lain halnya, dengan pengrajin keris dari Palongan Barat, Suwarso. Unsur-unsur spritual mistik itu masih terasa pada keris-keris garapannya. Ia bahkan menilai bahwa sekarang banyak muncul keris yang bagus, namun mencari keris yang terlihat hidup dan mempunyai karakter kuat sesuai jiwa dan rasa pembuatnya masih belum banyak. “Saya mencoba meneruskan apa yang sudah dimulai secara turun-temurun oleh para pendahulu saya, melalui pelestarian keris sesuai dengan estetikanya,” tuturnya.
Sebagai turunan pengrajin, Suwarso kecil telah digembleng kakeknya, Ruka’k dan Ayahnya, Saha, yang menjadi pengrajin terkenal asal Palongan, Sumenep, Madura. Dari para mentornya itu, ia diajarkan membuat keris yang holistik, yang memiliki jiwa dan rasa estetis pembuatnya. Hal yang sama pada Ki Sungkowo Haroembrodjo, penerus Mpu Djena Haroembrodjo, dari Moyudan, Sleman, Yogyakarta.
Mpu Djena Haroembrodjo merupakan keturunan dari Mpu Supawinangun yang berasal dari turunan para Mpu di zaman Majapahit, sebuah era yang disebut-sebut tersohor sebagai zaman keemasan keris.
Kolektor dan Pasar
Tak dapat dipungkiri, sejauh ini keris juga di nilai sebagai benda investasi dan spekulasi yang terkait nilai ekonomi. Selain dunia mitos yang berkembang dalam wacana perkerisan, nilai uang yang hadir mengikuti benda koleksi ini juga terbilang tak sedikit. Apalagi keris- keris yang memiliki nilai jual, baik dari bahan dasar pembentuknya, nilai kesejarahan, juga mitos-mitos yang melingkupinya. Hal-hal itulah yang bakal mengangkat harga jualnya teramat tinggi.
“Selama ini yang masih terus dicari konsumen adalah jenis keris berpamor Blarak Sinerek, Udan Mas, Beras Wutah,” ujar M. Abdillah. Pemilik kerajinan benda- benda pusaka dan antik, Intan Pusaka Jaya, ini mengoleksi berbagai jenis keris dan tombak dengan tangguh, pamor serta dhapur yang bervariasi, walau masih didominasi keris bertangguh Mataram. Maharnya mulai dari yang berharga ratusan ribu sampai jutaan rupiah.
Ia mengaku memiliki tiga tipe pelanggan: kolektor dan penjual, pelengkap upacara, atau sekedar punya untuk berbagai keperluan. Karuan saja, pria yang acap dipanggil Dullah ini selalu ready- stock untuk semua koleksi yang hendak dibeli oleh pelanggan setianya yang datang dari mana- mana.
“Dalam usaha jual beli ini, saya harus jujur dengan diri sendiri. Keris bukan segalanya. Ini medium perantara untuk saya memperoleh bekal untuk menjalani hidup,“ terangnya saat ditemui di losnya, di lantai I, Pasar Beringharjo, Yogyakarta.
Walau mengaku lebih banyak menggarap pasar domestik, ia juga tak menampik pesanan dari Aceh, Sumatera Barat, juga mancanegara seperti Malaysia, Perancis, dan Amerika. Baginya, justru yang paling sulit dalam bisnis ini adalah soal harga, karena memang tak ada standarisasi harganya. Para pelaku keris meyakini sebuah pamali: jika sudah berbicara soal pasar dan nilai nominal, keris sudah tak bisa dikendalikan lagi.
Lain lagi cerita dari para kolektornya. Godod Sutedjo, seniman lukis dan kolektor keris itu bilang, “Ada kepuasan sendiri dalam keris, belum soal waktu, biaya, perjalanan, dan cara memperolehnya. Biasanya saya cari ke para ahli spiritual atau tokoh-tokoh agama setempat di Pulau Jawa dan Madura.”
Ia yang mengaku kepincut dan mengoleksi keris sejak 1970-an karena keindahan artistiknya telah berburu keris-keris gaya Segaluh, Majapahit, Mataram, Surakarta, dan Yogyakarta, juga tombak dari era Pajajaran dan Majapahit, sebagai koleksinya.
Hal senada disampaikan Pande Wayan Suteja Neka, pemerhati keris, yang juga pendiri dan pemilik Neka Art Museum (NAM). Seturutnya, ia lebih melihat sisi artistik, filosofi, karismatik, simbolis, serta historisnya yang terkandung dalam keris. Di museum kerisnya, koleksinya berjumlah 275 bilah yang terdiri dari 18 keris pusaka, 63 keris kuno dan sisanya adalah keris kamardikan itu mendapat tempat tersendiri untuk dapat di apresiasi seluas-luasnya.
“Saya ingin membuka mata dunia melalui Museum Seni Neka, bahwa keris tak hanya berfungsi sebagai hiasan atau pajangan, tetapi mengandung nilai yang hakiki. Keris juga menjadi sumber informasi, ekspresi artistik, filosofi, sejarah, dan yang terpenting mampu menjadi cermin jati diri bangsa,” tukas sosok yang mendapat gelar Jejeneng Mpu Keris Bali itu, bersemangat. Kecintaannya itu bukan tanpa sebab mengingat ia adalah keturunan pande dari leluhurnya yang memiliki kedekatan psikologis yang begitu erat dengan kerajaan di ranah dewata ini.
Walhasil, keris kini tak hanya bisa ditemui di bursa atau pameran- pameran yang terkait dunia spiritual dan tosan aji saja. Keris sudah mulai masuk ke ranah galeri. Malah telah beberapa kali diselenggarakan pameran seperti di galeri, ruang pamer, maupun museum seperti Museum Pusaka Taman Mini Indonesia Indah (TMII), juga Neka Art Museum (NAM), yang terletak di Jalan Raya Sanggingan, Ubud, Gianyar, Bali.
Keris dan Modernitas
Menurut beberapa penelitian, sejak awal keris telah menjadi benda pusaka yang memiliki sifat pamer. Dan sifat pamer ini memang dimiliki oleh berbagai bangsa dengan segala keunikannya. Terkait dengan itu, walau sudah diakui secara Internasional, sejauh ini dunia keris di tanah air sendiri ternyata masih perlu mendapat perhatian khusus terkait dengan usaha dan upaya pelestariannya sebagai aset bangsa —heritage— yang memang sangat dibanggakan.
“Ini suatu (karya) yang sulit dan sangat luar biasa. Saat melihat bentuk-bentuk pamor yang terjadi dari hasil tempaan berbagai jenis logam yang setelah jadi, tetap menyisakan ruang pembatas antara sisi tajam dan pamor hasil bentukannya,” jelas Godod Sutedjo. Sejauh pengamatannya, baru Indonesia yang bisa menggarap yang seperti ini.
Beda dengan beberapa negara lain, di mana batasan ini hampir tidak ada. Semua seolah menyatu dan biasa sekali. “Belajar keris, sama halnya dengan belajar sejarah perjalanan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa dan sekitarnya. Ini penting sebagai modal untuk melacak keberadaan keris-keris lama yang langka,” imbuh pemilik galeri seni, Posnya Seni Godod, yang terletak di Jalan Suryodiningratan MJ II/641, Yogyakarta itu melengkapi.
Terkait dengan ini, Suwarso mengaku cukup prihatin dan memiliki cerita berbeda dengan situasi dan kondisi ini. Apalagi, sebagai pengrajin mereka seolah berjalan sendiri, karena belum adanya perhatian khusus terhadap apa yang mereka lakukan selama ini. Padahal di Palongan sendiri, kini hanya tinggal enam orang pengrajin serius yang menggarap keris.
Sebagai Ketua Paguyuban Panji Sumekar, ia pun tak henti-henti nya mempromosikan keberadaan mereka ke kalangan yang lebih luas. Tapi pada saat yang sama, mereka juga memproteksi karya- karyanya agar tak boleh didokumentasikan dengan cara apapun yang terkait ragam bentuk tempaan dan penggarapan. Dan yang paling penting adalah tak menjual dan mengirim kodokan (bahan dasar keris) keluar dari wilayah Sumenep, Madura. “Ini salah satu aset bangsa yang mesti dijaga ketat,” tegas Heru seraya menyayangkan sikap pemerintah yang kurang peduli dan memperhatikan nasib pengrajin keris dalam upaya pelestarian.
Situasi ini agak berbeda dengan yang terjadi di Bali. Seperti dituturkan Pande Wayan Suteja Neka, “Keris sudah menjadi bagian hidup orang Bali. Keris tak sekadar benda sakral dan ageman, tetapi ada misi penting untuk memberi semangat generasi muda agar ikut mencintai keris.” Terlebih di Bali keris memang tak bisa lepas dari kehidupan keseharian masyarakat dalam adat-istiadat, budaya, dan agama.
Pesan Mpu Itu
Itulah keris, dengan segala cerita, mitos, dan kekuatan magisnya yang masih tetap eksis hingga kini. Meski pergeseran motif telah terjadi. Kalau dulu keris banyak di koleksi lantaran kesaktian atau harapan dari kolektornya untuk mendapatkan “sesuatu”, kini lebih banyak diburu lantaran sisi estetika dan artistiknya. Bahkan banyak yang kemudian menjadikannya sebagai benda seni, cendera mata, atau investasi komersial.
Jika demikian, masih relevankah pesan para Mpu yang terngiang di telinga para pandemen keris berikut ini: Carilah pamor yang pas untuk jiwamu, dan pancarkanlah itu ke dalam wajah dan hidupmu karena keris hanyalah sebuah sarana atau simbol yang membuat kita selalu waspada dengan pamor jiwa dan menjadi seimbang dengan diri kita masing-masing.
Bagi Pramono Pinunggul, perlu pendekatan isoteris (sisi dalam) dan esoteris (sisi luar), yang rasional untuk bisa memahami secara obyektif dunia keris. “Masih banyak yang perlu dikaji dan dipelajari dari kontradiksi keris. Manusia akan mudah memahami sesuatu dan selamat dalam kehidupannya, kalau sudah memiliki bekal ilmu yang baik dan tahu cara menggunakannya,” pesannya mewakili kalangan pandemen keris yang banyak tersebar di seantero Nusantara.
Penulis:
Ki Arya Pandhu.
Anggota Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) DIY, Pengelola Sanggar Keris Mataram (SKM) Yogyakarta, Serikat Nasional Pelestari Tosan Aji – SENAPATI NUSANTARA, Salah Satu Tim Pemeliharaan dan Pengembangan Keris DIY (2019-2022).
Narasumber:
Jejeneng Mpu Keris (JMK), Pande Wayan Suteja Neka (Bali), Ki Sungkowo Haroembrodjo, Sindhunata, Pramono Pinunggul, Godod Sutedjo, M. Abdillah (Yogyakarta), Ki Daliman, Jauhari (Surakarta), Heru Susilarto (Muntilan), Suwarso (Madura).
Ilustrasi foto:
Dari berbagai situs di internet, sumber terkait dapat diakses dengan mengklik foto.