Musik keroncong mungkin kini hanya akrab untuk orang-orang tertentu saja. Membanjirnya penyanyi dan grup band pop baik dalam maupun luar negeri membuat musik keroncong semakin tersingkir. Namun, berbeda saat Anda berada di Kampung Tugu, Cilincing Jakarta Utara. Di tempat ini musik keroncong sudah akrab di telinga mereka bahkan anak-anak sekalipun. Tak heran memang. Di Kampung Tugu inilah musik keroncong berkembang. Keluarga Quiko yang merupakan keturunan Portugis sebagai pelestari musik Keroncong Tugu. Sebelumnya Keroncong Tugu sempat berhenti selama 30 tahun dan dihidupkan lagi tahun 1970 oleh Jacobus Quiko.
Keroncong Tugu merupakan bukti akulturasi budaya Indonesia dengan budaya Portugis. Musik keroncong sendiri masuk ke Indonesia sekitar tahun 1512, yaitu pada waktu Ekspedisi Portugis pimpinan Alfonso de Albuquerque datang ke Malaka dan Maluku tahun 1512. Para pelaut Portugis tersebut membawa lagu jenis Fado, yaitu lagu rakyat Portugis bernada Arab (tangga nada minor, karena bangsa Arab pernah menjajah Portugis/Spanyol tahun 711 – 1492.
Pada waktu tawanan Portugis dan budak asal Goa (India) di Kampung Tugu dibebaskan pada tahun 1661 oleh Pemerintah Hindia Belanda (VOC), mereka diharuskan pindah agama dari Katholik menjadi Protestan, sehingga kebiasaan menyanyikan lagu Fado menjadi harus bernyanyi seperti dalam Gereja Protestan, yang pada tangga nada mayor. Kemudian tahun 1880 Musik Keroncong lahir, dan awal ini Musik Keroncong juga dipengaruhi lagu Hawai yang dalam tangga nada mayor, yang juga berkembang pesat di Indonesia bersamaan dengan Musik Keroncong.
Keroncong Tugu sendiri sebenarnya didirikan pada tahun 1925 oleh Joseph Quiko. Awalnya bernama Orkes Pusaka Krontjong Moresco Toegoe Anno 1661 (tahun pembebasan tawanan Portugis dan budak asal India oleh pemerintah Belanda). Kemudian diteruskan oleh adik-adiknya, Jacobus dan Samuel Quiko. Tahun 1991 Krontjong Toegoe berubah menjadi Cafrinho yang berarti beramai-ramai. Namun, orang-orang lebih akrab dengan nama Keroncong Tugu. Tahun 2006 hingga sekarang dipimpin oleh Guido Quiko, putra Samuel Quiko.
Sehari-hari Guido Quiko–merupakan keturunan Portugis keempat, berprofesi sebagai arranger dan pencipta lagu di sebuah studio rekaman. Ia juga menjabat sebagai wakil ketua Sahabat Kota Tua, kumpulan komunitas kreatif di seputar Kota Tua Jakarta. Cintanya terhadap keragaman budaya Betawi, membuat Guido Quiko mempunyai keinginan kuat untuk terus melestarikan budaya leluhur.
Ada yang khas dari penampilan Keroncong Tugu Cafrinho dan menjadi ciri khas tersendiri. Dalam setiap penampilannya baik didalam maupun di luar negeri para pemain musiknya selalu memakai kostum celana batik, baju koko, lengkap dengan baret serta syal.
Keroncong Tugu hingga kini tetap rutin latihan setiap hari Selasa malam. Biasanya sekitar delapan orang pemusik hadir memainkan alat musik akustik, seperti gitar, bas, biola, dan rebana. Serta okulele bernama macina dan frunga. Mereka menyanyikan berbagai lagu berbahasa Melayu, Belanda, atau Portugis. Lagu Oude Batavia, misalnya. Keroncong Tugu Cafrinho adalah satu-satunya grup musik yang tetap mempertahankan kemurnian musik khas Tugu. Mereka tidak mudah terpengaruh oleh budaya musik lain yang kian berkembang di Indonesia. Padahal kini tak semua personelnya keturunan Portugis.
(NURAKHMAYANI)