Kabupaten Nias Selatan yang tersohor dengan Hombo Batu, tradisi lompat batu, secara keseluruhan telah memiliki 9 kekayaan budaya yang tercatat sebagai WBTb Indonesia, yaitu Babae (2017), Kalabubu (2018), Hombo Batu (2020), Hoho dan Tari Moyo (2021), Faluaya (2022), Famadaya Harimao, köfö-köfö dan afore (2024). Selain tradisi Hombo Batu, di desa Bawomataluo juga terdapat Kawasan Cagar Budaya Permukiman, Pemandian, dan Pemakaman Tradisional Megalitik, tercantum pada 2017. Sementara Desa Bawomataluo juga sudah 16 tahun lamanya tercatat dalam Tentative Lists UNESCO.

Bertandang ke desa Bawomataluo, mata pengunjung akan tertuju ke rumah adat setinggi 40 meter. Di Bawomataluo (arti: bukit matahari) setidaknya 137 rumah adat tradisional (Omo Hada) yang tetap utuh terjaga dengan sebuah rumah raja di tengah-tengahnya yang disebut sebagai Omo Nifolasara Sebua.

Pengantar historis
Pengantar ini bertolak dari tradisi lisan di Nias, dari ilmu arkeologi, sejarah dan arsitektur rumah adat Nias. Ribuan tahun lamanya, dua suku utama di Nias hidup di atas pohon (suku Ono Mbela) dan di dalam gua (keturunan Laturadanö/ Laturedanö/ Ba’uwadanö). Selama itu tak ada berita tentang arsitektur.
Sekitar 700 tahun yang lalu Armada Tiongkok mulai menguasai lautan Indonesia. Tiongkok punya koloni dan galangan kapal di Singkuang, Sumatra, 110 km di sebelah Timur pulau Nias. Di era yang sama berakhir periode kehidupan manusia di gua Tögi Ndrawa. Beberapa silsilah suku Ono Niha berawal pada waktu itu, sekitar tahun 1300 M.
Melalui tradisi lisan Nias diketahui bahwa sekitar 700 tahun yang lalu para imigran, Ono Niha, membawa kemajuan ke Nias, a.l. perkakas besi dan pertukangan. Desa Sifalagö Gomo di hulu Sungai Gomo menjadi pusat hunian mereka. Secara sangat singkat tradisi lisan menguraikan sejarah mereka: Owo (perahu) – omo (rumah) – gomo (nama sungai dan daerah, kecamatan Gomo). Mereka mencapai Pulau Nias, tempat baru mereka, dengan naik perahu (owo), membuat tempat tinggal (omo), di salah satu wilayah di Nias yang disebut Gomo.
Nama dua leluhur terkemuka di Gomo adalah Hia dan Ho. Nama seperti di negeri Cina. Tradisi lisan memberitahukan: Ladada Hia fabaya osali-Ladada fabaya omo. Artinya: Leluhur Hia diturunkan bersama dengan rumahnya. Berarti: Imigran Hia datang ke Nias dengan perlengkapan.
Nama kuno untuk perahu adalah lasara. Banyak desa di Nias disebut Lasara. Lebih menarik lagi suatu istilah di Nias Selatan: omo nifolasara, rumah yang dibentuk seperti lasara, seperti satu perahu. Artinya: elemen-elemen spesifik dari kapal laut atau perahu menjadi unsur penting dalam arsitektur rumah adat di Nias.
Manusia “primitif” yang sebelumnya turun dari pohon atau sebelumnya keluar dari gua, tidak memiliki kemampuan untuk langsung mendirikan rumah adat artistik, seperti kita melihatnya di Nias. Dasar arsitektur Nias dibawa oleh para imigran dari seberang laut.

Bedirinya Omo Nifolasara Bawömataluo
Pembangunan rumah ini tidak terlepas dari peristiwa penyerangan pasukan Belanda yang membumi hanguskan Orahili Fau. Bencana itu membuat para si’ulu (bangsawan) Orahili dan rakyatnya mengungsi hingga akhirnya memutuskan bermukim di bukit yang sekarang dinamakan Bawömataluo. Di tempat baru tersebut mereka berpacu membangun lambang-lambang kebesarannya termasuk omo nifolasaranya untuk menunjukan kepada musuh bahwa mereka masih eksis bahkan jauh lebih kuat dari sebelumnya.
Rumah yang dibangun 160 tahun lalu ini bukan hanya sekedar tempat tinggal biasa, sehingga rancangan konstruksinya, interiornya, perabotannya dan setiap sudutnya benar-benar mendemonstrasikan kebesaran pemiliknya. Dan marwah itu masih terpancar sampai sekarang tak lengkang oleh waktu sekalipun fisiknya sudah semakin tua. Untuk rumah ini Laowö, sang pendirinya sekaligus pendiri Bawömataluo pernah melantunkan hoho (syair) demikian: ‘ma iotamahögö Mazinö, ma isalogoi Maenamölö.’Dalam terjemahan bebasnya berarti: Rumah yang berhadap-hadapan dengan kawasan Mazinö dan menaungin kawasan Maenamölö. Satu kalimat yang dapat diinterpretasikan sebagai pesan hegemoni atas kedua kawasan dimaksud.
Pada awal abad ke-20 penyebutan ‘omo Ruyu’ atau rumah Ruyu terhadap omo nifolasara Bawömataluo pernah populer baik di kalangan orang Nias maupun orang asing yang datang ke kepulauan Nias. Dalam beberapa dokumen khususnya foto-foto kuno terdapat catatan kecil yang menerangkan rumah tersebut milik Ruyu. Contohnya sebuah foto yang didokumentasikan tahun 1918 di bawahnya ada catatan yang berbunyi: ‘Woning van Radja Roejoe, Kampoeng Bawo Mataloeo, Z Nias’. Catatan yang sepertinya campuran bahasa Melayu-Belanda ini artinya, rumah raja Ruyu, kampung Bawӧmataluo, Nias Selatan. Dan dalam foto lain dari tahun yang berbeda tercantum tulisan: ‘Huis van den Radja Si Roejoe in kampong Bawomataluo’.

Jauh sesudah itu P. Johannes M. Hӓmmerle, seorang agamawan dan pemerhati warisan budaya Nias dalam bukunya Famatӧ Harimao masih setia menyebut omo nifolasara sebagai rumah Ruyu. Dan ketika Bawömataluo mulai menjadi destinasi wisata, para wisatawan lokal yang berkunjung ke sana hampir selalu mengajukan pertanyaan: “Dimanakah rumahnya Ruyu?” Nama Ruyu kembali dihubungkan dengan omo nifolasara sekalipun beliau dan keturunannya sudah tidak ada di dalamnya. Waspada Wau menambahkan bahwa di kemudian hari masyarakat Sirombu menamakan kayu berua sebagai eu nomo Ruyu (kayu rumah Ruyu). Dan diantara orang Lahusa-Gomo berkembang pertanyaan: no möi’ö ba mbanua Ruyu? (sudahkah anda ke kampungnya Ruyu?). Di sini nama beliau menjadi referensi tidak hanya untuk menyebut keberadaan rumahnya tetapi lebih luas menunjuk pada Bawömataluo secara keseluruhan.
Hal yang menarik di sini adalah ternyata penyebutan ‘rumah Ruyu’ sudah populer justru saat ayahnya, Saönigeho masih hidup dan tinggal di sana. Saönigeho sendiri merupakan pucuk pimpinan di antara para bangsawan yang memerintah (balö zi’ulu) dan dikenal sebagai ikon pejuang Nias yang konsisten melakukan konfrontasi melawan penjajah Belanda. Kala itu nama Saönigeho identik dengan kekuasaan, kepahlawanan, kekayaan dan segala kebesaran sebagai seorang si’ulu. Sosok Ruyu mampu masuk dalam tataran itu dan lebih lanjut kepadanya diberikan penghormatan dengan menyandingkan namanya atas rumahnya Saönigeho di saat Saönigeho sendiri masih hidup. Sejak awal Ruyu telah diperhitungkan oleh banyak pihak, termasuk orang-orang asing sebagai seorang tokoh besar sehingga mereka tidak ragu menghubungkan namanya dengan rumah warisan kakeknya dan yang saat itu sedang didiami oleh ayahnya. Nama Ruyu tidak tenggelam di bawah bayang-bayang kebesaran nama ayahnya. Ia menjadi populer bukan karena ia adalah putra penguasa, namun itu terbangun karena memang kapasitas dirinya yang mumpuni.
Sumber teks dan foto:
Museum Pusaka Nias,
hypeabis.id,
rri.co.id ,