Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PENERAPAN PROGRAM KOTA TANGGUH PADA JARINGAN KOTA PUSAKA INDONESIA

Asfarinal, IAI

Pemerhati Kota Pusaka

 

Hampir sebahagian besar dari anggota JKPI berada didalam lingkaran Ring of Fire dan jalur patahan, potensi bencana selalu mengintai. Belajar dari pengalaman pada masa lalu, perlunya penerapan jejaring pengaman atau penerapan program kota tangguh atau disebut juga dengan kota yang berketahanan. Kota yang berketahanan memiliki prinsip dan kriteria utama perencanaan ketahanan kota meliputi infrastruktur yakni air, energi, konfirgurasi dan lokasi spasial, tansportasi, infrastruktur hijau, struktur pertahanan, perlindungan, bangunan dan desain, lalu teknologi dan informasi, keamanan, dan lingkungan yang meliputi ekosistem,ekonomi. lembaga (perencanaan, pemerintahan), sosial dan demografi yang meliputi kesehatan (Sharifi & Yamagata, 2014) dan ditambah dengan pendekatan budaya.

Pada bulan Maret 2015, Indonesia dan negara-negara dunia menyepakati Sendai Framework for DRR yang menggantikan Hyogo Framework for Action. Kerangka kerja Sendai ini yang mempunyai tujuan mengurangi risiko dan kerugian akibat bencana, melalui empat prioritas aksi: 1. Memahami risiko bencana, 2. Memperkuat tata Kelola risiko bencana untuk mengelola risiko, 3. Berinvestasi dalam pengurangan risiko bencana untuk ketangguhan, dan 4. Meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respons yang efektif, dan “Membangun Kembali dengan Lebih Baik” dalam pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi (BNPB, 2015). Program pemerintah Untuk menuju visi Indonesia Tangguh Bencana, maka strategi yang dilakukan adalah menjadikan kabupaten/kota menjadi tangguh bencana.

Ketahanan kota juga dapat diartikan keterampilan teritori dan komunitas untuk mencegah, menghargai dengan benar segala masalah lingkungan dan sosial dari bencana alam hingga dampak perubahan iklim hingga kemiskinan, dan sebuah kota dicirikan sebagai kota berketahanan ketika kota berubah dengan membangun sosial, ekonomi, dan lingkungan serta sejarah yang baru (D’Ascanio, Di Ludovico, & Di Lodovico, 2016). Dalam mengembangkan kerangka kota yang tangguh dapat menggunakan pendekatan berbasis tempat yang menggabungkan pemikiran untuk perubahan sebagai proses yang dinamis melintasi skala waktu dan dengan memahami hubungan antara orang-orang dan tempat mereka (Mirti Chand, 2018).

Kota Tangguh telah mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi dan mengurangi konsekuensi dari bencana, menggabungkan teknologi pemantauan dan peringatan dini untuk melindungi infrastruktur, aset masyarakat dan individu, termasuk rumah dan harta benda mereka, warisan budaya, modal lingkungan dan ekonomi, dan mampu meminimalkan kerugia phiskis dan fisik. Kerugian sosial yang timbul dari peristiwa cuaca ekstrem, gempa bumi atau bahaya alam atau buatan manusia lainnya (Kováčová, Pavlenko, Titko, Mitašová, & Havko, 2017).

Dalam hal ini, untuk menyajikan lingkungan perkotaan dunia nyata yang menantang di mana untuk secara kolaboratif dan komputasi mengeksplorasi bagaimana perencanaan infrastruktur kritis dapat ditingkatkan dengan identifikasi dan analisis yang tepat dari Langkah-langkah ketahanan saat ini dan konteks pengaruh khusus seperti polderisasi dan dioperasionalkan dengan pemikiran kumpulan diletakkan pada perencanaan lingkungan kota (Ali, Ingirige, & Zainal Abidin, 2018).

Hal ini dikarenakan adanya kerentanan terhadap dampak perubahan iklim tidak terbatas pada lingkungan yang dibangun, tetapi meluas ke sistem sosial teknis yang mencakup persepsi, nilai-nilai, preferensi, dan pola perilaku berbagai kelompok pemangku kepentingan manusia. Untuk lebih sepenuhnya memasukkan dimensi manusia ke dalam perencanaan ketahanan, kita harus memperoleh dan menerapkan kebijakan ekologi dari penduduk lokal dan pemangku kepentingan (Douglas, Reardon, & Täger, 2018).

Sehingga dalam hal ini konsep kota yang berketahanan atau kota yang resilient dapat menghadapi tekanan dan guncangan dari kegiatan alam. Sebagaimana menurut Douglas, Readon, dan Täger (2018), konsep kebijakan ekologi dapat digunakan sebagai masukan pengetahuan lokal yang dpaat diperoleh untuk menginformasikan adaptasi perubahan iklim perkotaan dan perencanaan ketahanan. Pemenuhan konsep kota tangguh atau kota berketahanan memerlukan strategi dalam kebijakan yang juga bersifat tangguh. Kebijakan tangguh dipersiapkan untuk mencegah bencana mitigasi kerusakan yang dilaksanakan melalui regulasi dan kerja sama publik dan swasta (Lee, Chun, & Song, 2018).

Sebagaimana yang berorientasi pada masa depan suatu kota dapat disebut sebagai kota yang berketahanan atau resilient city jika memiliki orientasi fokus yang khusus. Penelitian di masa depan akan fokus pada tiga bidang terutama, seperti jasa ekosistem, kapasitas adaptif dan ekosistem yang didominasi manusia. Dengan pengembangan kota global, lebih banyak topik akan diperhatikan, seperti metrik ketahanan perkotaan, hubungan antara kota rekreasi dan kota tangguh, kerentanan perkotaan dan ketahanan kota (Pu & Qiu, 2016).

Kota-kota Pusaka di Lingkaran Bencana

Melihat realita yang ada pada 73 anggota Jaringan kota Pusaka Indonesia (JKPI) dan hampir sebahagian besar berada dalam lingkaran cincin api dan mempunyai potensi bencana yang tinggi, baik itu letusan gunung berapi atau gempa, baik yang berpotensi tsunami maupun kerusakan di daratan. Selain itu banjir dan permasalahan kekumuhan juga menjadi permasalahan serius akan ketahanan pada kota-kota anggota JKPI dari permasalahan bencana perkotaan.

Bencana itu sendiri ada dua, satu bencanan yang disebabkan oleh alam dan yang satu lagi disebabkan oleh kelalaian manusia itu sendiri. Bahkan permasalahan yang disebabkan oleh faktor kecerobohan manusia sering kali menimbulkan permasalahan yang berkelanjutan dan memberikan dampak yang signifikan pada permasalahaan bencana perkotaan.

Pada tulisan ini kita menyoroti beberapa kota anggota JKPI yang mempunyai resiko tinggi akibat berada pada lingkaran ring of fire, beberapa kota  diantaranya;

  • Kota Pusaka Banda Aceh ketahanan kota terhadap bencana;
    • Kota Banda Aceh rentan terhadap beberapa jenis bencana pada pesisir pantai, seperti tsunami, banjir rob, angin kencang, dan banjir genangan. Selain itu, Banda Aceh juga rentan terhadap gempa bumi dan bencana kebakaran. Banda Aceh dilalui oleh dua patahan yang merupakan percabangan dari Patahan Sumatera, yaitu Patahan Aceh dan Patahan Seulimum. Kedua patahan ini berpotensi menghasilkan gempa yang merusak.
    • Kejadian tsunami pada tahun 2004 membuktikan bahwa Banda Aceh rentan terhadap tsunami. Penemuan dari hasil penelitian lainnya turut menyebutkan bahwa setidaknya ada 11 kali tsunami yang pernah melanda kawasan utara Pulau Sumatera (kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar), yaitu kajian sedimen tsunami (Rubin dkk., 2017). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa bencana tsunami akan tetap menjadi ancaman serius bagi Kota Banda Aceh dan sekitarnya. Berdasarkan karakteristik sumber-sumber tsunami yang berada di sekitar jalur subduksi Indo-Australia, maka estimasi waktu tiba gelombang tsunami paling singkat adalah 35 menit (Syamsidik dkk., 2015). Ini perlu melandasi perencanaan evakuasi kota yang tepat dan cepat.
    • Pada Stunami 2004, Kawasan yang masuk dalam delinasi kota pusaka Banda Aceh mengalami kerusakan cukup parah, tetapi beberapa peninggalan sejarah budaya (tangible), seperti Masjid Raya Baiturahmah berdiri kokoh dan menjadi tempat untuk menyelamatkan diri pada saat tsunami tersebut, tetapi dikawasan sekitarnya mengalami kerusakan parah.
    • Kampung Pande, kampung yang diyakini sebagai bekas Kerajaan Samudra Pasai (ditemukan artefak yang mengidentifikasikan bahwa itu terkait dengan ibukota Kerajaan Samudra Pasai) terletak di pesisir Kawasan yang sangat rentan akan tsunami.
  • Kota Pusaka Ternate dan ketahanan terhadap bencana
    • Kota Ternate merupakan kepulauan dan pusatnya terletak di pulau Ternate dan dikaki Gunung Gamalama. Lokasi pusat kota Ternate rawan akan bahaya meletusnya Gunung Berapi.
    • Kondisi topografi Kota Ternate dengan sebagian besar daerah bergunung dan berbukit, terdiri atas pulau vulkanis dan pulau karang dengan kondisi jenis tanah Rogusal ( Pulau Ternate, Pulau Hiri, dan Pulau Moti) dan Rensika (Pulau Mayau, Pulau Tifure, Pulau Maka, Pulau Mano dan Pulau Gurida), menjadikan Kawasan ini rawan akan bencana.
    • Dikota Ternate terdapat Istana Kesultanan dan perangkat Kesultanan Ternate yang berada di pesisir timur dari Pulau Ternate. Walaupun berada lebih tinggi dari bibir pantai, lokasi istana berpotensi akan bencana tsunami mengingat seringnya terjadi gempa dengan titik gempa antara Pulaua Ternate dan Halmahera (Halmahera Barat), tetapi akses jalan dibelakang Istana memberikan solusi mencapai ketinggian ketempat yang lebih tinggi.
    • Kota Ternate beberapa kali menerima dampak dari meletusnya Gamalama. Abu Gunung Gamalama akan menyembur dari kawah gunung mengarah keberbagai sudut kota berdasarkan kemana arah angin, kadangkala bila aktifitas meningkat abu menyelimuti kawasan padat Kota Ternate.
    • Pada saat terjadinya hujan abu ataupun lahar dingin, masyarakat sudah paham langkah-langkah penyelamatan. Pemerintah memasang berbagai perangkat peringatan dini dan juga latihan-latihan rutin penanggulangan bencana.

Kota Berketahanan dan Kota Tangguh Bencana

Adapun menurut Lembaga Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Kota tangguh adalah kota yang memiliki kemampuan menyerap, memulihkan, dan mempersiapkan diri untuk menghadapi guncangan di masa depan (ekonomi, lingkungan, sosial & kelembagaan). Kota tangguh mendorong pembangunan berkelanjutan, kesejahteraan, dan pertumbuhan inklusif. OECD sedang menyelidiki bagaimana kota dapat meningkatkan ketahanannya.

Salah satu contoh yang menarik dipelajari adalah ketahanan Kobe dari kebencanaan. Posisi Kobe sama dengan halnya kota-kota anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia yang berada pada Kawasan cicin api (ring of fire). Selain berada pada Kawasan rawan bencana, Kobe mempunyai banyak tinggalan warisan budaya yang sudah berusia ratusan tahun, seperti;

    • Pembangunan kembali kota dan peningkatan ketahanan terhadap bencana alam Pada 17 Januari 1995, Kobe dan sekitarnya dilanda gempa bumi Great Hanshin-Awaji, menyebabkan 4771 kematian. Itu adalah gempa bumi pertama dalam sejarah modern Jepang yang pusatnya berada di daerah metropolitan. Mayoritas kerusakan terjadi di dalam batas kota dan mempengaruhi industri secara signifikan dan perdagangan. Memulihkan infrastruktur dan membangun kembali kawasan perkotaan sekaligus meningkatkan kualitas kota ketahanan keseluruhan terhadap bencana alam di masa depan adalah masalah yang paling mendesak pada tahap awal periode setelah gempa bumi. Salah satu tantangan bagi Kobe adalah bagaimana mengembangkan komunitas yang aman, nyaman dan tahan bencana sambil mengambil pelajaran dari restorasi pasca gempa dan rekonstruksi.
    • Revitalisasi ekonomi dan penciptaan basis industri baru. Kobe Kerusakan ekonomi total (kerusakan struktural pada gedung, utilitas, jaringan lalu lintas dan fasilitas pelabuhan,kerusakan akibat kebakaran dan likuifaksi) yang disebabkan oleh gempa bumi diperkirakan mencapai JPY 6,9 triliun (Kota Kobe, 2015), kurang lebih sama dengan produk kotor tahunan Kobe. Banyak pabrikan besar mengalami kerusakan pabrik utama mereka, dan jalur produksi mereka terputus. Efek gempa bumi dan Kemerosotan ekonomi yang sedang berlangsung di Jepang dengan cepat meningkatkan masalah sistemik yang sudah ada sebelumnya di Kobe, seperti relokasi pabrik manufaktur ke daerah terpencil dan penurunan industri dalam kota. Hasil dari, pemulihan ekonomi terhenti sementara, dengan hanya mencapai 80% dari tingkat sebelum bencana sejak 1997.
    • Kawasan heritage dan proteksi “Gin no Bashamichi — The Old Silver Mine Carriage Road”
      Situs warisan nasional Jepang yang berada di Kobe. Situs Gin no Bashamichi dibangun pada tahun 1876 oleh pemerintah Meiji yang membentang kurang lebih 49 km dari pelabuhan Himeji di Seto Inland Sea khusus untuk mengangkut bijih logam dan bahan tambang dari Ikuno Kouzan (Tambang) , sehingga dijuluki “Jalan Industri berkecepatan tinggi” yang pertama di Jepang. Dalam memproteksi situs ini, pemerintah Jepang sampai mengalokasikan dana yang besar untuk memproteksi dari runtuhnya terowongan yang legendaris tersebut.
    • Kuil Himeji, situs warisan budaya dunia dan warisan nasional
      Bila musim semi akan menyapa dan bunga-bunga akan bermekaran menampakkan pesonanya. Kuil yang memiliki nama lain Shirasagi ini menawarkan keindahan Sakura yang mekar di Kuil Himeji, sebuah situs warisan budaya dunia dan warisan nasional dan reruntuhan kastil Takeda yang dijuluki Machu Picchu nya Jepang.

Bentuk evaluasi penerapan kategori dan tujuan kota tangguh pada Jaringan Kota Pusaka Indonesia ini menggunakan konsep berupa kota tangguh, dengan menggunakan parameter berupa kategori dan tujuan kota tangguh.  Kota Banda Aceh dan kota Ternate menjadi contoh kota yang mampu menjadi tangguh dan mampu pulih dalam waktu yang cepat. Tindakan responsive dan selalu melakukan pendekatan kepeduliaan akan kewaspaadaan akan bencana akan membuat kota-kota anggota JKPI cepat mengambil Langkah-langkas strategi untuk kota tangguh bencana.

Daftar Pustaka

Ali, F. M. M., Ingirige, B., & Zainal Abidin, N. A. (2018). Assembling and (Re)Assembling Critical           Infrastructure Resilience in Khulna City, Bangladesh. Procedia Engineering, 212, 832–839. https://doi.org/10.1016/j.proeng.2018.01.107

D’Ascanio, F., Di Ludovico, D., & Di Lodovico, L. (2016). Design and Urban Shape for a Resilient City. Procedia – Social and Behavioral Sciences, 223, 764–769. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2016.05.265

Douglas, E. M., Reardon, K. M., & Täger, M. C. (2018). Participatory action research as a means of achieving ecological wisdom within climate change resiliency planning. Journal of Urban Management, 7(3), 152–160. https://doi.org/10.1016/j.jum.2018.05.003

Kováčová, J., Pavlenko, T., Titko, M., Mitašová, V., & Havko, J. (2017). Financing the Disaster Resilient City in the Slovak Republic. Procedia Engineering, 192, 301–306. https://doi.org/10.1016/j.proeng.2017.06.052

Lee, K., Chun, H., & Song, J. (2018). New Strategies for Resilient Planning in response to Climate Change for Urban Development. Procedia Engineering, 212(2017), 840–846. https://doi.org/10.1016/j.proeng.2018.01.108

Mirti Chand, A. V. (2018). Place Based Approach to plan for Resilient Cities: A local government perspective. Procedia Engineering, 212(2017), 157–164. https://doi.org/10.1016/j.proeng.2018.01.021

Pu, B., & Qiu, Y. (2016). Emerging Trends and New Developments on Urban Resilience: A Bibliometric Perspective. Current Urban Studies, 04(01), 36–52. https://doi.org/10.4236/cus.2016.41004https://read.oecd-ilibrary.org/urban-rural-and-regional-development/redefining-urban/redefining-urban-areas-in-oecd-countries

https://bnpb.go.id/berita/deklarasi-komitmen-mewujudkan-kabupaten-kota-tangguh

Sharifi, A., & Yamagata, Y. (2014). Resilient urban planning: Major principles and criteria. Energy Procedia, 61, 1491–1495. https://doi.org/10.1016/j.egypro.2014.12.154

https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Ternate

Image @galihgiffari

 

Leave a Comment

https://indonesiaheritage-cities.org/