Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TARA NO ATE (History, Nature & Culture On Space City)

Oleh:
Rinto Taib

(Kepala Museum Rempah-Rempah Kota Ternate)

Tara No Ate ini adalah sebuah cerita tentang asal usul negeri Gapi yang saat ini bertransformasi nama menjadi Ternate. Dapat dikatakan bahwa Ternate merupakan sebutan yang berasal dari penyatuan tiga suku kata, yaitu: Tara(turunlah kebawah) No (anda/kamu) Ate(rangkul, menggaet). Jika demikian maka berbagai pertanyaan akan muncul dari benak kita, antara lain: Turun dari mana menuju ke mana? Siapa yang memberi perintah dan siapa pula yang diberi perintah? Mengapa harus ada perintah?

Jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut tak lain adalah berkaitan dengan kisah tentang asal usul para raja yang berkuasa di Moloku Kie Raha saat ini (Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan, dan Joilolo). Singkat cerita dalam mitologi masyarakat Ternate khususnya, meyakini bahwa keturunan langsung secara turun temurun para sultan yang memerintah di kerajaan Moloku Kie Raha tersebut adalah berasal dari satu keturunan seorang ahlul bait bernama Jafar Syadiq yang menikah dengan puteri kerajaan langit atau anak dari raja kayangan saat keduanya bertemu di negeri Gapi.

Pertemuan antara Jafar Syadiq sendiri dengan sang bidadari kayangan terjadi ketika sang bidadari bersama ke-enam saudarinya (baca tujuh puteri) turun mandi dan bermain di sebuah sumber air telaga. Seiring berjalannya waktu, Jafar syadiq bersama isterinya yang tak lain adalah puteri kayangan tersebut yang bernama Nur Syafa tinggal bersama hingga tibalah waktu di suatu ketika sang puteri tak ditemukan lagi oleh sang suami karena telah kembali ke negeri asalnya di kerajaan langit (kayangan).

Setelah berhasil menemui sang puteri di kayangan, merekapun hidup bersama anak keturunannya. Suatu saat raja kayanganpun terpaksa merelakan sang puteri kesayangannya bersama suami dan anaknya untuk kembali ke bumi. Pada momen perpisahan tersebutlah sang cucu yang masih kecil diberi pesan sang kakek si raja langit untuk turun kembali ke bumi dan merangkul mereka penduduk bumi yang bertikai dengan kalimat perintah sang saja yaitu “Tara No Ate”. Kalimat tersebutlah yang kemudian digunakan untuk sebuah penyebutan lain dari nama negeri Gapi, Tara No Ate atau turun dan rangkullah, merangkul semua penduduk negeri yang saling bertikai satu sama lain ketika itu.

Kini, ditengah perkembangan zaman, Ternate mengalami berbagai dinamika perjalanan sejarahnya yang panjang. Ternate dikenal sebagai Bandar jalur rempah masa lalu di era kolonialisme bangsa asing. Dimasa kejayaan bangsa Spanyol, negeri ini dijadikan Spanyol sebagai Ibu Kota Spanyol di Maluku. Tepatnya berlokasi di benteng Gamlamo atau benteng Kastela saat ini, dibangunnya sebuah prasasti sebagai monument peringatan 500 tahun pelayaran dua navigator ulungnya Magellan dan Elcano. Di monument inilah tertulis Gam Lamo sebagai ibu kota Spanyol di Maluku.

Tak hanya di benteng Gamlamo, benteng Oranje yang dibangun bangsa Portugis pada tahun 1522 kemudian diambil alih dan kemudian diubah namanya oleh Belanda menjadi Fort Oranje pada tahun 1609 pun disebut sebagai ibu kota Netherland di luar negeri asalnya. Dalam praktek negara modern maka hal seperti ini seolah menjadikan Ternate menjadi vatsal atau negara bagian dari Spanyol maupun Belanda pada masa itu, masa dimana kejayaan negeri rempah benar-benar berhasil ditaklukan oleh Spanyol hingga Belanda.

Rangkaian Kegiatan Festival Tara No Ate 2022

Tak mengherankan Ternate menjadi pusat pemerintahan kolonial bagi Portugis, Spanyol hingga Belanda terutama dimasa jaya VOC dengan menempatkan para gubernur jenderal VOC untuk bertugas sebelum VOC dipindahkan ke Batavia, salah satu diantaranya adalah JP Coen. Saat ini, Ternate pun dikenal sebagai kota rempah, kota yang pernah Berjaya karena rempah-rempahnya khususnya Pala dan Cengkeh. Kaitannya dengan Festival Tara No Ate yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Kota Ternate saat ini dengan mengusung sub tema: History, Nature and Culture maka hal tersebut menjadi semakin relevan dengan branding Ternate Kota Rempah. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan, antara lain:

Pertama: Kondisi aktual saat ini dimana city branding Ternate telah ditetapkan sebagai kota rempah. Sebagai kota rempah maka sejarah panjang kota ini tak luput dari silang budaya, hegemoni dan konflik dalam dinamika ruang-ruang kekuasaanmya. Hal ini memerlukan berbagai upaya konsolidasi dan rekonsiliasi (no ate) atas segala potensi dan ragam jejak, warisan pertikaian dan perselisihan masa lalu untuk disikapi sebagai peluang bagi upaya peningkatan kuilitas hidup yang lebih baik dalam kerangka persatuan (Tara No Ate).

Kedua: Sebagai kota yang memiliki branding sebagai kora rempah maka, rempah-rempah beserta komoditi lainnya bukanlah yang terpenting dalam aspek perdagangan pada masa lalu dan masa kini. Dimensi pengetahuan menjadi aspek terpenting dalam aktivitas perdagangan rempah, seperti pengetahuan mengenai perilaku masyarakat, agama, bahasa, seni, sastra, teknologi, keahlian, dan ilmu pengetahuan bahkan musik yang menjadi pengalaman fundamental dan berdampak bagi peradaban dunia maupun nilai-nilai universal yang dijadikan sebagai sandaran normatif dalam tata kelola rutinitas interaksi sosial maupun rujukan pengetahuan dan warisan yang dipelihara secara turun-temurun sebagai sebuah produk kebudayaan yang pada akhirnya bermuara pada upaya memperkayah khasanah budaya nasional.

Ketiga: Pada konteks inilah maka penempatan nilai signifikansi Kota Rempah saat ini tidak hanya berfokus pada aspek ekonomi perdagangan semata, namun signifikansi pertukaran dan pencapaian ilmu pengetahuan, warisan sejarah, budaya dan tradisi lisan yang jarang sekali mendapat perhatian. Terlebih saat ini ditengah upaya Pengusulan Jalur Rempah (Spice Route) untuk dinominasikan sebagai warisan budaya dunia (Culture World Heritage). Jalur Rempah merupakan sebuah koridor bagi tempat berlalu lalangnya perdagangan dunia di Nusantara yang  telah berdampak luas tidak hanya menorehkan sejarah politik namun juga eksplorasi sumber daya alam bagi kepentingan ilmu pengetahuan hingga pengembangan kebudayaan.

Kekayaan sejarah dan warisan keilmuan serta khazanah budaya Ternate harus mendapat perhatian serius mengingat daerah ini merupakan daerah kesultanan yang memiliki sejarah panjang dalam dinamika kerajaan-kerajaan di Nusantara, Persia, Arab dan Tiongkok sebelum era kolonialisme Eropa (Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda). Singkat cerita, sejak menjadi jalur dupa, jalur sutera hingga jalur rempah.  Perjalanan panjang sejarah tersebut telah menorehkan tinta emas dalam historiografinya yang melibatkan para tokoh, lokus peristiwa hingga pemaknaanya. Silang budaya, kemampuan adaptasi lokal, tatanan politik ekonomi global (baca VOC) saling mempengaruhi satu sama lain hingga meninggalkan jejaknya di masa kini yang memukau (baca share heritage).

            Pada akhirnya, Festival Tara No Ate ini diharapkan menjadi sesuatu yang sangat bermanfaat bagi pemajuan kebudayaan bangsa Indonesia melalui pengembangan jaringan kerjasama di berbagai bidang khususnya Kebudayaan oleh berbagai komunitas di kota Ternate seperti komunitas kreatif dan komunitas akademik seperti pelibatan perguruan tinggi maupun  masyarakat luas secara mandiri, profesional dan berkelanjutan dengan beberapa tujuan antara lain: Pertama; meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat sebagai ekosistem kebudayaan dalam upaya Pemajuan kebudayaan. Kedua; meningkatkan potensi sumber daya manusia (SDM) dengan mengembangkan khazanah kekayaan warisan budaya dan keaarifan lokal serta menumbuhkembangkan kapasitas kemampuan komunitas lokal yang mandiri dan berkelanjutan dalam pemajuan kebudayaan secara lebih luas dan disaat yang bersamaan juga turut serta mendorong program jelur rempah di kota rempah

Leave a Comment

https://indonesiaheritage-cities.org/