CALUNG dan kenthongan banyumasan lahir dari rahim budaya agraris petani di pedalaman Jawa Tengah. Namun, seperti filosofi bambu yang meliuk-liuk mengikuti arah angin, calung bermetamorfosis mengikuti perubahan zaman.
Di Jalan Malioboro, Kota Yogyakarta, pertengahan Mei lalu, tepatnya di sudut jalur lambat di seberang Pasar Beringharjo, sejumlah orang asyik berjoget di sekeliling sekelompok pengamen yang mendendangkan lagu Barat Top 40 dengan seperangkat alat musik bambu. Kelompok musik itu menamai diri Calung Funk.
”Kami asli Purbalingga (Jawa Tengah),” ujar Didi (30), personel Calung Funk. Kelompok yang terdiri atas tujuh orang itu sudah lima tahun menjadi seniman jalanan. Mereka berkelana dengan semangat mengenalkan calung sebagai instrumen musik etnik yang menarik.
Awal mengamen, mereka beberapa kali berkejar-kejaran dengan satuan polisi pamong praja. Namun, melihat kreativitas Calung Funk, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta mengikutkan mereka pada ajang lomba musik etnik. Mereka juara. Sejak itu, Calung Funk mengamen permanen di Jalan Malioboro serta beberapa kali pentas ke Bandung, Surabaya, Jakarta, hingga Medan.
Calung, jelas budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, hidup di pedesaan wilayah sebaran budaya Banyumas, seperti Kebumen, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, Wonosobo, Tegal, Brebes, hingga wilayah Jawa Barat bagian timur. Perangkat calung terdiri dari gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong bambu, dan kendhang. Calung difungsikan sebagai alat musik dalam seni pertunjukan, seperti lengger (seni tari) dan ebeg (kuda lumping khas Banyumas).
Asal kata calung, lanjut Tohari, ada beberapa versi. Ada yang menyebut calung berasal dari istilah diprocol nganti melung, yakni menyayat batang bambu sampai menghasilkan suara sempurna. ”Ada yang mengartikan calung dari carang pring wulung,” ucap dia. Calung awalnya dibuat dari bambu tutul. Seiring perkembangan, pembuat calung lebih memilih bambu wulung (hitam). Kenthongan semula hanya alat komunikasi warga desa.
Awalnya, calung berlaras slendro saja. Kini, mulai muncul variasi dari seniman yang melengkapinya dengan laras pelog.
Calung berjaya pada era tahun 1970-an. Pada pengujung tahun 1990-an, warga mulai meninggalkan calung dan lebih menyukai pertunjukan lengger diiringi alat musik elektrik.
Anak muda
Calung menemukan roh kembali delapan tahun terakhir di tangan anak muda. Dinamisasi calung menggema di sejumlah wilayah. Tahun 2013, Sanggar Seni Mahasiswa Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, menggelar pentas calung dan kenthongan berkolaborasi dengan disc jockey.
Sebaliknya, Komunitas Gethek Ajibarang, Banyumas, konsisten mengangkat calung dan kenthongan menjadi musik etnik bernilai tinggi. Menurut Koordinator Komunitas Gethek Edi Romadon, anggota komunitas itu terdiri dari anak jalanan, kaum muda, dan kaum intelektual. ”Kami mengolaborasikan musik bambu dengan puisi dan teater,” kata dia.
Metamorfosis penampilan musik bambu di Banyumas dan sekitarnya makin marak memasuki tahun 2007. Salah satunya adalah kemunculan kesenian cakenjring, yaitu kolaborasi antara calung, kenthongan, dan genjring (musik religi islami).
Tahun 2007, Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas (DKKB) mengirim cakenjring ke Ceko, mengikuti Mezinarodni Folklorni Festival. Cakenjring menjadi penampilan terbaik. Cakenjring DKKB yang sebagian besar anggotanya anak muda juga bertolak ke Malaysia, mengikuti World Drum Festival Chapter 1. Mereka menjadi tim terfavorit.
Kolaborasi musik calung pun melintasi sekat kultural. Misalnya, calengsai, akronim dari calung, lengger, dan barongsai. Sri Rahayu, pamong budaya di Purwokerto Timur, sebagai kreator kolaborasi itu, menyebutkan, calengsai merupakan tontonan seni yang unik, menarik, dan bernapaskan pluralisme.
Suara merdu angklung
Di Jawa Barat, angklung mewakili musik tradisional berbahan bambu dari tatar Pasundan. Udjo Ngalagena, maestro angklung Sunda, dalam buku hariannya pada 3 Mei 2001, menuliskan, ”Saung angklung tak ingin hidup sesaat, tetapi dari generasi ke generasi”.
Alat musik bambu itu memang tak punah. Ada sekitar 400 komunitas angklung, salah satunya Saung Angklung Udjo (SAU) yang didirikan Udjo tahun 1966. SAU menjadi contoh sukses gerak ekonomi kreatif berbasis kesenian.
SAU kini menempati kawasan seluas 2 hektar di Jalan Padasuka 118, Kota Bandung. Awalnya, mereka hanya menempati rumah tinggal Udjo seluas 150 meter persegi.
Udjo belajar teori angklung dari Daeng Soetigna, ”Bapak Angkung Jabar”. Daeng menciptakan nada do-re-mi dengan angklung yang disebut diatonik. Sebelumnya, angklung memiliki nada tritonik atau tetratonik.
Wisatawan yang pertama kali datang ke SAU adalah enam turis asal Perancis yang dibawa biro perjalanan wisata Nitour. SAU pun kian dikenal. Kian banyak wisatawan yang datang.
SAU yang semula sanggar produksi alat musik bambu saja, berkat bantuan pemerintah dan swasta, berkembang menjadi tempat pertunjukan berkapasitas 500 orang dan pusat pelatihan angklung. SAU kini dikelola seorang anak Udjo, Taufik Hidayat Udjo. Ia menjabat Direktur Utama PT Saung Angklung Udjo.
Corporate Secretary PT Saung Angklung Udjo Bhawika Hikmat mengatakan, tren pengunjung ke SAU dari tahun ke tahun meningkat, sebagaimana pada 2013 yang mencapai 209.000 orang. SAU memiliki sekitar 300 anak didik.
Di Kota Cirebon, Jabar, alat musik tradisional dari bambu yang masih bertahan adalah suling dipadu gitar menjadi tarling. Tarling klasik, selain memakai suling dan gitar, membawakan lagu klasik yang diiringi gamelan pula.
Tokoh tarling klasik yang masih bertahan ialah Djana Partanain (77), pemimpin kelompok tarling Chandra Kirana. Bersama dengan sekitar 20 anggotanya, Djana masih membawakan tarling klasik dan drama. Beberapa kali ia masih diminta tampil dalam hajatan warga meski sudah tidak sesering dulu.
”Sebulan sekali ada tanggapan sudah beruntung,” ujar dia. Kini, kehidupan tarling mulai tergusur tardut, yaitu perpaduan gitar, suling, dan dangdut.
Sumber: Kompas.com