Sosiologi Avonturisme
Pengalaman pribadi ketika menempuh studi S1 jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unsrat Manado maupun S2 Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor (IPB) memberikan dua pengalaman yang berbeda dalam memaknai, menafsirkan dan mendefinisikan bahkan mengkonstruksi sebuah realitas. Demikianlah tujuannya mempelajari Sosiologi, kita dituntut bukan sekedar memahami dinamika sosial yang terjadi di sekitar kita secara deskriptif namun juga “mencipta” realitas melalui rekayasa sosial secara praksis. Sebelumnya juga terdaftar sebagai Mahasiswa Sosiologi Fisip Unpatti Ambon tahun 1996 sebelum era reformasi hingga terpaksa exodus pada tahun 1999 karena konflik SARA di daerah tersebut.
Pengalaman pribadi selama belajar Sosiologi dari masing-masing daerah tersebut dengan institusi perguruan tingginya tentu memiliki pengalaman tersendiri. Bukan saja terbatas pada atmosfir akademis dan interaksi sosial semata melainkan termasuk pula karakteristik masyarakat dengan dinamika orientasi kulturalnya dalam menyikapi perubahan sosial yang terjadi. Pada kesempatan ini, saya tidak mengulas berbagai pengalaman yang melatari selama studi tersebut namun sekedar dijadikan sebagai referensi historis dalam pembacaan atas peran Sosiologi sebagai salah satu cabang ilmu sosial dalam realitas kekinian.
Ide tulisan ini berawal ketika membaca sebuah postingan di Instagram yang memberikan informasi terkait penyelenggaraan Sociology Festival 2018 bertajuk “Sosiologi Untuk Kita” yang akan diselenggarakan pada (25-27/5) nanti di Fort Oranje Ternate dengan beberapa rangkaian kegiatannya antara lain: Bacarita Politik Kebudayaan, Talk Show, Book Discussion, Public Lecture, serta berbagai kemasan acara hiburan lainnya (pentas musik, teater & baca puisi). Secara pribadi, pengalaman belajar Sosiologi di Ambon tak jauh berbeda dengan teman-teman yang menggeluti studi dan kajian keilmuan lainnya.
Sisi menariknya dari belajar Sosiologi sewaktu di Fisip Unpatti Ambon adalah mengalami secara langsung bagaimana tatanan nilai lokal warisan leluhur dengan narasi agung “Pela Gandong” yang sarat semangat persaudaraan, terlahir dan dipertahankan ratusan tahun silam harus terkoyak akibat konflik berlatar SARA dikala itu. Para penganut agama seolah tak lagi memiliki roh pembebasan dari agama anutannya, yang ada hanyalah semangat “berperang demi Tuhan” untuk memperjuangkan klaim kebenaran dan solidaritas atas sesama ummat (in group) nya seraya menghabisi siapa saja yang berbeda keyakinannya. Meskipun tidak terlibat dalam aksi membela agama ataupun saudara seiman (Jihad) saya harus diuji melewati beberapa pos pemeriksaan layaknya daerah operasi militer (DOM), serta berbagai tragedi kemanusiaan lain yang terjadi secara telanjang dihadapan mata layaknya di daerah konflik pada umumnya dan tak dapat saya berbagi secara detail lewat tulisan ini. Keselamatan nyawa tentu merupakan hal termahal dan tersulit bagi mereka di daerah konflik sebagaimana yang saya rasakan saat itu.
Merasakan langsung secara praksis tentang hal berbeda dari sesuatu yang dipelajari diruang kelas versus realitas di masyarakat sungguh sebuah pengalaman studi yangtermahal karena nyawa menjadi taruhan. Hal terpenting dari kisah ini bahwa sesungguhnya belajar Sosiologi “terapan” dengan menjadikan masyarakat sebagai laboratorium akan memberi kematangan intelektual tersendiri ketimbang hanya berkutat dengan buku tekstual dibalik meja ruang kelas.
Lain ceritanya ketika terpaksa exodus ke Manado, budaya hedonis sering dilekatkan pada sebagian masyarakat daerah ini yang sangat toleran dalam hal kerukunan umat beragamanya. Tradisi “Mapalus” yang bersandar pada semangat gotong royong tak kalah menariknya dengan “Pela Gandong” di tanah Maluku, sungguh merupakan sebuah kekayaan bangsa yang menarik untuk dikaji. Demikian pula pada masyarakat Sunda, harmoni dengan kehidupan masyarakatnya yang cenderung lebih halus dalam bertutur, lahan persawahan serta alam pertanian yang terbentang luas disekitar tempat saya bermukim, suhu alamnya yang teramat dingin, aktivitas keluarga petani kala musim panen padi, dan lain sebagainya yang merepresentasi akan hal yang berbeda dari dua kota sebelumnya (Ambon dan Manado) tempat semasa belajar tentang Sosiologi.
Demikian gambaran singkat dari sebuah proses pengalaman kehidupan “sosiologi avonturisme”. Momentum tersebut tidak sekedar belajar melalui tumpukan buku semata melainkan juga merasakan langsung realitas sosial dan tragedi kemanusiaan yang terjadi sembari menafsir ulang secara sosiologis. Proses pergumulan kehidupan antara realitas empiris dengan deskripsi teoritis diruang kelas tentu menjadi sebuah kebutuhan yang melandasi basis penelitian ilmiah dengan menjadikan masyarakat sebagai laboratoriumnya.
Masing-masing dari kita tentunya meraih pengalaman dan pengajaran yang beragam dari proses dialektika kehidupan yang kita gumuli, karenanya yang demikian akan menjadi menarik untuk ditelah, memperkaya khasanah keilmuan Sosiologi bukan sekedar tentang metode dan teknik memahami realitas empiris disekitar kita melainkan juga sebagai senjata ideologis bagi kemajuan peradaban masyarakat.
Tradisi Neo Marxian
Karl Marx memperkenalkan beberapa teori sosial kritis yang penting sekaligus berperan sebagai tokoh yang mewarisi tradisi intelektual pada zaman sesudahnya. Alienasi dan teori konflik antar kelas sosial (perjuangan kelas) turut menginspirasi beberapa pemikir untuk meneruskan pemikirannya dalam barisan Neo-Marxisme, tidak lagi terbatas pada isu klasik seputar faktor produksi semata melainkan telah keluar dari paradigma pengelompokan dan perjuangan kelas sebagai “grand theory” yang dianggap telah runtuh dan tidak lagi mampuh menjawab tantangan zaman. Menariknya lagi, pandangan Neo-Marxisme tidak hanya terbatas pada disiplin Sosiologi semata melainkan disiplin ilmu sosial lain seperti antropologi, dll. Andre Gorz (1982), Laclau & Mauffe (1985), Touraine (1985), atau Antonio Gramsky yang begitu populer dengan pandangan Hegemoninya, Georg Simmel yang begitu tajam menganalisa masyarakat dan kebudayaan melalui esainya yang berjudul The Conflict of Modern Culture, serta sederet pemikir lainnya yang cenderung dikategorikan sebagai pemikir “kiri” atau yang diistilahkan Gramsky dengan sebutan kalangan intelektual organik.
Dalam menelaah tematik masyarakat dan kebudayaan ataupun politik kebudayaan, tulisan Simmel dalam essainya tersebut diatas sangatlah berarti karena memandang hidup sebagai potensi kreatif pada tingkat individu dan sebagai kekuatan produktif dari kebudayaan. Menurut Nedelmann, dari sudut pandang soiologi makro, Simmel memandang bahwa budaya kreatif sebagai usaha-usaha kultural yang bersifat kolektif dari individu-individu. Pada konteks ini, menurut penulis bahwa kreatifitas jelas merupakan proses mencipta suatu produk kebudayaan baik materil maupun non materil yang cenderung bertumpu pada usaha mengolah gagasan kreatif dalam wujud aksi sebuah komunitas.
Seiring perkembangan zaman, kemajuan teknologi memberi peluang berkembangnya budaya kreatif yang semakin diperluas ruang cakupannya dalam bidang ekonomi dan salah satunya adalah lebih dikenal dengan 16 sub sektor ekonomi kreatif dengan sejumlah program unggulannya seperti musik, fotografi, kuliner, film, penerbitan, fashion, desain produk, dll. Keseluruhan program unggulan tersebut saat ini secara struktural telah dikelola dalam sebuah kelembagaan negara yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden N0. 6 Tahun 2015 Tentang Badan Ekonomi Kreatif, yang kemudian telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2015.
Seiring pula peran negara dalam mengelola dan mengembangkan budaya kreatif yang mencakup 16 sub sektor ekonomi kreatif maka masyarakatpun ikut berperan terutama melalui komunitas-komunitas yang bergerak langsung dalam bidang-bidang tersebut diatas. Keberadaan berbagai komunitas inipun layaknya telah menjadi sebuah gerakan sosial baru yaitu sebuah gerakan yang mencari jawaban atas berbagai persoalan hak asasi manusia, isu kesetaraan dan keadilan, karya manusia kreatif sensitif konflik, menyeru kepada perdamaian serta berpijak pada prinsip-prinsip ekologis (peka atas ketersediaan natural resources serta human and sosial resources).
Sebagaimana ditunjukan dengan keberadaan puluhan komunitas yang ada di kota Ternate saat ini. Salah satu rumah bersama bagi komunitas se kota Ternate yang bernama Jaringan Komunitas Ternate (Jarkot) misalnya merupakan wadah bagi pluralitas cita-cita serta heterogenitas basis sosial dan kultural ditingkat lokal yang tengah hadir memberi ruang ekspresi sekaligus refleksi bagi anggota komunitasnya yang majamur tersebut. Anggotanya datang dari spesialisasi bidang kreativitas yang tak sama diantara mereka. Ada yang datang berlatar film, musik, desain produk, dll. Meskipun demikian, semuanya memiliki kesamaan visi dan semangat bersama untuk menghidupkan kota melalui keragaman aktivitas serta program yang melekat pada setiap dari mereka yang tergabung lebih dari 50-an komunitas.
Sosiologi Untuk Kita
Paparan sebelumnya diatas memberi pesan akan beberapa hal sebagai catatan menjelang pelaksanaan Sociology Festival yang berlangsung pada (25-27/5) di Fort Oranje Ternate, antara lain:
Pertama: Sebagai upaya memberikan kontribusi pemikiran oleh para Sosiolog maupun publik untuk menelaah tentang status Sosiologi sebagai sebuah disiplin keilmuan pada satu sisi serta tuntutan akan perannya bagi pembangunan bangsa maupun daerah pada sisi yang lain. Pada konteks ini kita dituntut untuk bersinergi menyumbangkan ide dan gagasan konstruktif bagi kemajuan kebudayaan dan masyarakat. Setiap daerah memiliki keunikan tersendiri dengan karakteristik sosial kultural yang berbeda satu sama lain, tentunya hal ini menjadi peluang membangun daerah berbasis keunikannya tersebut seperti berbasis pusaka alam, pusaka budaya maupun saujana dalam bingkai sebagai sebuah kota kreatif dan tematik tentunya. Bebagai persoalan kemasyarakatan dan kebudayaan menjadi patut untuk dikaji secara mendalam melalui pendekatan Sosiologis sebagai solusi sekaligus dapat dijadikan sebagai kekuatan pembangun bangsa.
Kedua: dalam menumbuhkembangkan tradisi literasi di era digital saat ini maka terbuka peluang bagi siapa saja untuk berperan aktif menulis berbagai hal realitas sosial yang terjadi disekelilingnya guna disebarluaskan melalui jejaring antar komunitas sehingga menjadi agenda bersama untuk bergerak memajukan kebudayaan dan masyarakat luas. Dalam perkembangannya kelak, berbagai sumbangan pemikiran lewat tulisan-tulisan tersebut dapat dibukukan menjadi sebuah dokumen hidup bagi generasi mendatang. Termasuk pula dengan menyelenggarakan lomba menulis bertema Sosiologi Untuk Kita dan berbagai sumbangan tulisan yang terkumpul agar disarankan untuk dibukukan sebagai karya intelektual bersama atau secara sederhana mendorong tradisi literasi digital melalui blog, web, situs online atau akun pribadi termasuk surat kabar (koran atau majalah) dengan konten tulisan yang bertemakan Sosiologi..
Ketiga, momentum Festival Sosiologi merupakan momentum emas untuk melakukan berbagai agenda perubahan melalui gerakan membangun kesadaran melakukan upaya reinventing atau membangun kembali daerah ini dalam segala bidang secara lebih luas. Pada konteks ini pula, kita dapat melakukan berbagai upaya instrumentasi budaya di ruang kuasa. Seiring dengan menggeliatnya berbagai event festival di benteng Oranje Ternate beberapa tahun belakangan ini. Hal ini mempertegas begitu berartinya program revitalisasi cagar budaya di negeri ini. Benteng Oranje seolah menjadi ruang pusaka bagi publik yang dimanfaatkan dengan baik bagi kepentingan ekonomi melalui gelaran expo pameran para pedagang dan kelompok usaha ekonomi kreatif maupun kepentingan akademis melalui aktivitas workshop, penelitian ilmuah hingga pementasan dan gelaran seni budaya.
Dalam konteks politik kebudayaan sebagaimana Geertz mendefinisikannya. “Kebudayaan sebagai suatu sistem makna dan simbol yang disusun..dalam pengertian di mana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya; suatu pola makna yang ditransmisikan secara historik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana di mana orang-orang mengkomunikasikan, mengabadikannya, dan menmgembangkan pengtahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik” Keberadaan benteng Oranje sebagai ruang pusaka di kota Ternate telah menjadi living museum bagi komunitas kreatif dan juga mampuh mendorong kalangan intelektual yang cenderung hening dalam pertapaannya untuk turun gunung membangun relasi bagi kepentingan bersama atas sebuah agenda perubahan yang disebut Foucault dengan istilah “historical discontinuity.
Sebagai seorang Sosiolog, saya secara pribadi sangat menaruh harapan yang teramat besar bagi penyelenggaraan event ini, saya berharap keseluruhan rangkaian acara dari gelaran event ini bukanlah sekedar menjadi sebuah “Creatio ex nihilo” alias tanpa makna dan agenda yang berkelanjutan, meminjam terminologi Goenawan Mohamad saya berharap event ini menjadi semacam “mixed bag” yang akan menampung yang menampung segla ide dan wacana dalam aksi nyata untuk mengubah tatanan sosial kultural negeri ini dimasa akan datang.
Peran Sosiologi & Agenda Strategis
Peran Sosiologi pada tataran ini adalah mampuh melakukan berbagai rekayasa sosial untuk menghasilkan realitas yang memberi ruang bagi hadirnya peran masyarakat luas termasuk dalam pemanfaatan ruang pusaka sebagai wujud pengakuan atas pluralitas identitas kultural yang dijamin kelestariannya. Identitas kultural yang dimaksud bukanlah terbatas pada latar etnisitas dalam arti sempit melainkan pula menyentuh secara luas bagi semua kalangan struktur, lapisan dan golongan sosial dengan menjadikan warisan cagar budaya sebagai medium dan upaya meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Sebagai gambaran ilustratif dalam kajian Sosiologi Keluarga misalnya benteng Oranje ataupun kawasan cagar budaya lainnya dapat dijadikan sebagai media atau sarana ekspresi warga ketika melakukan berbagai aktivitas yang berifat privasi atau berkaitan dengan keluarga (sarana rekreasi). foto pra weeding, selebrasi pernikahan (weeding party), dll.
Pada konteks ini dapat kita lihat dari segi Sosiologi Ekonomi pula yaitu bagaimana basis sebuah relasi yang dibangun dalam prosesi atau perhelatan tersebut, nilai ekonomi mengiringi hal tersebut manakala pasangan pengantin membutuhkan properti atau peran pihak lain dalam mensukseskan hajatan tersebut seperti misalnya jasa salon kecantikan, jasa catering, jasa fotografer, jasa desain produk, jasa kesenian dan pementasan (musik, tarian, dll), dan sebagainya.
Pertanyaannya adalah bagaimanakaah strategi yang dapat dilakukan dalam perspektif sosilogis untuk merumuskan langkah-langkah dan program mendesak dalam memajukan visi Ternate untuk meraih World Heritage Cities dari Unesco?, bagaimana memaksimalkan peran sosiologi sebagai ilmu terapan dalam memajukan lebudayaan daerah secara komprehensif dan berkelanjutan ? bagaimana peran komunitas dalam aspek pemanfaatan benteng Oranje dan objek cagar budaya lainnya sebagai ruang pusaka ideal sekaligus menghidupinya sebagai salah satu kota kreatif di Indonesia ?
Semoga penyelenggaraan Sociology Festival 2018 di benteng Oranje Ternate tersebut dapat menemukan jawaban dan solusi bersama untuk menjawab tantangan dunia akademis saat ini dari perspektif peran Sosiologi , menyoal objektivisme Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan empiris, dan yang paling terpenting adalah kita dapat menafsir ulang Sosiologi baik metode maupun bidang kerja seiring perkembangan zaman dan dinamika perubahan sosial yang terjadi dimasa kini dan akan datang.
Selamat berfestival semoga berdampak bagi keberlangsungan dan keberlanjutan kebudayaan bangsa Indonesia.
Oleh : Rinto Taib