Sidang ke-45 Komite Warisan Dunia atau World Heritage Committee (WHC) di Riyadh, Arab Saudi, menetapkan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai warisan budaya dunia, pada Senin (18/9) lalu.
Berdasarkan dokumen penetapan WHC 2345.COM 8B. 39., Sumbu Filosofi Yogyakarta telah sah diterima menjadi Warisan Budaya Dunia (World Heritage) dengan tajuk “the Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks”.
Penetapan ini menambah daftar baru warisan budaya dunia yang ada di Yogyakarta. Sebelumnya, Kompleks Candi Prambanan ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 1991.
Apa Itu Sumbu Filosofi Yogyakarta?
Berbeda dengan kompleks candi atau warisan dunia lainnya yang mudah terlihat karena bentuknya, Sumbu Filosofi Yogyakarta merupakan sebuah konsep tata ruang yang bermakna.
Melansir laman resmi Provinsi DIY, Sumbu Filosofi Yogyakarta diakui sebagai warisan dunia karena dinilai memiliki arti penting secara universal.
Konsep tata ruang ini pertama kali dicetuskan pada abad ke-18 oleh Raja Pertama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau yang dikenal dengan nama Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I).
Konsep tata ruang ini dibuat berdasarkan konsepsi Jawa dan berbentuk struktur jalan lurus yang membentang antara Panggung Krapyak di sebelah selatan, Kraton Yogyakarta, dan Tugu Yogyakarta di sebelah utara.
Apa Makna Sumbu Filosofi Yogyakarta?
Seperti konsep pemikiran Jawa yang banyak dikenal, Sumbu Filosofi Yogyakarta juga memiliki makna yang dalam. Secara simbolis, konsep tata ruang ini melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, maupun manusia dengan alam.
Hubungan dengan alam ini digambarkan dengan lima anasir pembentuknya yakni api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta dan air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta) dan angkasa (ether).
Demikian juga tiga unsur yang menjadikan kehidupan (fisik, tenaga dan jiwa) telah tercakup di dalam filosofis sumbu imajiner tersebut.
Adapun bukti peradaban budaya melekat pada Sumbu Filosofi Yogyakarta ditunjukkan banyaknya tradisi dan praktik budaya Jawa yang dilakukan di sekitar kawasan bangunan. Misalnya acara pemerintahan, hukum adat, seni, sastra, festival, dan ritual-ritual.
Bentuk Sumbu Filosofi Yogyakarta
Sumbu Filosofi dari Kraton Yogyakarta membentuk garis lurus antara letak Tugu Golong-Gilig, Kraton, dan Panggung Krapyak. Tugu Golong-Gilig/Pal Putih dan Panggung Krapyak merupakan simbol Lingga dan Yoni yang melambangkan kesuburan. Tugu Golong-Gilig pada bagian atasnya berbentuk bulatan (golong) dan pada bagian bawahnya berbentuk silindris (gilig) serta berwarna putih sehingga disebut juga Pal Putih.
Tugu Golong Gilig melambangkan keberadaan sultan dalam melaksanakan proses kehidupannya. Hal tersebut ditunjukkan dengan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa secara tulus yang disertai satu tekad menuju kesejahteraan rakyat (golong-gilig) dan didasari hati yang suci (warna putih).
Kemudian, filosofi dari Panggung Krapyak ke utara menggambarkan perjalanan manusia sejak dilahirkan dari rahim ibu, beranjak dewasa, menikah sampai melahirkan anak (sangkaning dumadi).
Alun-alun Selatan menggambarkan manusia yang telah dewasa dan sudah wani (berani) meminang gadis karena sudah akil baligh. Sebaliknya dari Tugu Golong-Gilig/Tugu Pal Putih ke arah selatan merupakan perjalanan manusia menghadap Sang Khalik (paraning dumadi).
Keberadaan Kompleks Kepatihan dan Pasar Beringharja melambangkan godaan duniawi dan godaan syahwat manusia yang harus dihindari. Sepanjang jalan Margatama, Malioboro dan Margamulya ditanam pohon asêm (Tamarindus indica) yang bermakna sêngsêm/ menarik dan pohon gayam (Inocarpus edulis) yang bermakna ayom/teduh.
Sumber: detik.com/edu/detikpedia