Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Rumah Gassho dan tradisi Yui di desa Shirakawa

Bruno Taut, seorang sarjana arsitektur minimalis terkemuka Jerman (1880 – 1938) mengelilingi negeri Jepang sepanjang tahun 1933-1936.

“Lanskap ini bukan Jepang. Paling tidak ini adalah pemandangan yang belum pernah saya lihat di sini sebelumnya. Ini pasti Swiss, atau ilusi Swiss,” komentarnya saat mengunjungi desa Shirakawa pada 1935.

Dalam bukunya, The Re-discovery of Japanese Beauty, Bruno Taut dengan kagum menulis bahwa “rumah bergaya gassho memiliki arsitektur yang rasional dan logis.” Pujian Taut terhadap arsitektur gaya gassho di desa Shirkawa menarik perhatian dunia.

Pada bulan Desember 1995, Shirakawa terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO sebagai “Desa Bersejarah Shirakawa-go dan Gokayama.” Area spesifik yang terdaftar adalah pemukiman bergaya gassho di desa Shirakawa Ogimachi di Gifu, desa Taira Ainokura dan desa Kamitaira Suganuma di Toyama, sehingga Situs Warisan Dunia ini mencakup tiga lokasi terpisah.

“Terletak di wilayah pegunungan, terputus dari dunia luar dalam jangka waktu yang lama, desa-desa dengan rumah bergaya gassho ini hidup dari penanaman pohon murbei dan pemeliharaan ulat sutera. Rumah-rumah besar beratap jeraminya adalah satu-satunya contoh di Jepang. Meskipun terjadi gejolak ekonomi, desa Ogimachi, Ainokura dan Suganuma adalah contoh luar biasa dari cara hidup tradisional yang secara sempurna disesuaikan dengan lingkungan dan keadaan sosial dan ekonomi masyarakat,” demikian keterangan yang tertulis pada situs UNESCO.

Desa Shirakawa memanfaatkan kesempatan ini tidak hanya sebagai situs domestik di Jepang, namun juga untuk menarik perhatian seluruh dunia sebagai bagian dari warisan kolektif umat manusia, “pusaka bersama yang diwarisi oleh umat manusia masa lalu dan harus diteruskan ke masa depan.”

Rumah bergaya Gassho dibangun di Shirakawa-go dan Gokayama dari sekitar tahun 1800-an. Bangunan-bangunan yang lebih tua konon telah berdiri selama lebih dari 300 tahun. Namun pembangunan bendungan untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga air di cekungan Sungai Sho, sekitar tahun 1940, menyebabkan beberapa pemukiman terendam. Selain itu, masyarakat secara kolektif meninggalkan beberapa desa kecil, beberapa rumah hilang terbakar, dan banyak rumah bergaya gassho dijual. Terdapat sekitar 300 rumah bergaya gassho pada tahun 1924, namun pada tahun 1961, hanya 190.

Penduduk desa Ogimachi, yang khawatir tidak akan ada lagi rumah bergaya gassho yang tersisa, memulai gerakan untuk menyelamatkan rumah-rumah tersebut. Pada tahun 1971, disepakati konsensus seluruh penduduk dan “Asosiasi Perlindungan Lingkungan Alam Shirakawa-go, Desa Ogimachi” dengan tiga prinsip “Jangan menjual, Jangan menyewakan, Jangan merusak” dan kegiatan pelestarian pun mulai diperluas.

Upaya pelestarian ini memperoleh perhatian dan berujung pada penetapan sebagai wilayah yang dilindungi dengan bangunan tradisional yang penting secara nasional pada tahun 1976, kemudian didaftarkan sebagai situs warisan dunia pada tahun 1995.

Pada tahun 1997, didirikan Shirakawa-go World Heritage Site Gassho Style Preservation Trust, sebagai badan yang melaksanakan pemeliharaan dan kegiatan pelestarian lanskap lebih lanjut di desa tersebut.

Gotong royong ala Shirakawa

Atap jerami rumah gassho berangsur-angsur akan rusak dan harus diganti setiap 20 – 30 tahun sekali. Di Shirakawa-go, pembuatan jerami tradisional merupakan upaya gotong royong yang melibatkan hingga 200 penduduk. Semangat gotong royong ini disebut Yui.

Peserta Yui diberi peran berbeda berdasarkan pada keterampilan dan pengalaman mereka. Yang paling senior biasanya mengawasi pekerjaan, sementara yang paling muda ditugaskan membersihkan jerami atau mengantar seikat jerami kepada yang bekerja di atap. Pemilik rumah menyajikan minuman pada siang hari, dan bersama dengan penduduk desa lainnya menyiapkan pesta yang disebut Naorai untuk semua peserta setelah atap selesai.

Kontribusi masing-masing peserta, mulai dari pekerjaan, berbagai bahan, jerami hingga jumlah botol sake yang disediakan untuk naorai, dicatat dalam sebuah buku kecil yang disebut yui-cho. Pencatatan ini membantu memastikan keadilan dan timbal balik, yang merupakan dua nilai utama tradisi yui. Yui-cho berasal dari tahun 1792, membuktikan bahwa atap jerami Shirakawa-go merupakan hasil kegiatan gotong royong selama lebih dari dua abad.

Praktek yui tumbuh dari keadaan sosial di desa-desa di lembah Sungai Sho. Selama berabad-abad, desa-desa terpencil ini merupakan komunitas tertutup, penduduknya jarang berinteraksi dengan dunia luar. Penduduk desa mempunyai rasa memiliki yang kuat, komitmen untuk saling menjaga satu sama lain, dan pemahaman bahwa desa dan tradisinya adalah milik mereka untuk dilindungi dan dijunjung tinggi.

Hingga kini, hampir tidak pernah terdengar ada yang pindah dari desa. Hal ini sebagian disebabkan oleh adat istiadat setempat yang melarang penjualan, pembelian, atau penyewaan tanah, yang merupakan warisan dan diharapkan dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.

Struktur sosial ini memungkinkan berkembangnya ikatan timbal balik yang berlangsung dari generasi ke generasi. Ikatan seperti itu tidak hanya mendasari yui tetapi juga pengorganisasian acara seperti pernikahan dan pemakaman yang melibatkan seluruh penduduk desa.

Penduduk Shirakawa-go berkumpul setidaknya setahun sekali, biasanya pada musim semi atau musim gugur, untuk membuat atap jerami dengan semangat yui. Hal ini dilakukan untuk memastikan berbagai teknik yang ada diwariskan ke generasi berikutnya. Aturan lokal yang melarang penjualan, penyewaan, dan pembongkaran rumah bergaya gassho adalah cara lain untuk menjunjung tinggi tradisi desa yang telah berusia berabad-abad.

Sumber: https://www.vill.shirakawa.lg.jp dan https://whc.unesco.org/

Leave a Comment

https://indonesiaheritage-cities.org/