BANDA ACEH – Seribuan penari, pemain teater, dan pemusik turut meriahkan pembukaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII di Stadion Harapan Bangsa, Banda Aceh, Minggu (5/8/2018) malam. Seribuan penari tersebut menampilkan tari kolosal Aceh Lhee Sagoe perpaduan adat budaya di Provinsi Aceh.
Para penari dan pemain teater memasuki lapangan usai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan (Mendikbud) RI Muhadjir Effendy menabuh rapai, tanda dibukanya PKA VII secara resmi.
Pertunjukan massal ini dimulai dengan cerita awal masuknya Islam di Aceh, seterusnya bercerita tentang keberagaman budaya dan agama yang menjadi identitas masyarakat Aceh. Perhalatan ini juga disuguhkan video mapping.
Koordinator koreografi pertunjukan massal tersebut, Imam Juaini mengatakan, dalam konsepnya tarian massal itu menggambarkan tentang keberagaman, ketauhidan, dan juga kebersamaan di masyarakat Aceh. Secara umum, tarian massal itu bercerita kondisi Aceh dari sebelum Islam, masuknya Islam, hingga lahirnya kebudayaan dan kesenian Islam.
“Aceh pernah mendapat sebuah peradaban yang sangat tinggi. Di mana seni-seni yang dilahirkan itu bernilai tinggi. Kita juga menggambarkan peranan Islam dalam kebudayaan Aceh, terutama dalam konsep tauhid. Aceh pernah melahirkan tokoh-tokoh sufi, salah satunya Hamzah al Fansuri,” ujar Imam usai pembukaan PKA VII.
Melalui tarian tersebut, pihaknya ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat tentang keberagaman dan kerukunan dalam kehidupan di Aceh. Masyarakat Aceh juga mempunyai semangat yang kuat dan agama yang teguh serta memiliki rasa kebersamaan.
“Hal-hal itu yang membuat Aceh bisa maju. ini yang kita ingin coba kita sampaikan,” ujar Imam.
Tarian massal itu sendiri melibatkan penari dari berbagai sanggar di Banda Aceh dan Aceh Besar, serta pemusik dari pesisir dan daerah pedalaman. Mereka berlatih sekitar satu bulan untuk menyiapkan tarian massal tersebut.
Mendikbud, Prof Muhadjir Effendy dalam sambutannya mengatakan, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2017 tentang kebudayaan. Undang-undang ini telah menempatkan kebudayaan itu posisi yang strategis.
“Ini bukti sungguh-sungguh pemerintah untuk menjaga kebudayaan,” kata Mendikbud, Prof Muhadjir Effendy.
Katanya, mulai tahun 2019 mendatang pemerintah akan mengucurkan anggaran khusus untuk kebudayaan. Sehingga kegiatan seperti PKA bisa mendapatkan anggaran khusus, sehingga memudahkan melakukan pelestarian kebudayaan dan membuat berbagai even kebudayaan lainnya.
Menurut Mendikbud, sudah tepat pemerintah Aceh melaksanakan PKA untuk melestarikan dan menjaga khasanah adat dan kebudayaan yang ada. Apa lagi kebudayaan yang ada di Aceh cukup beragam yang tidak lepas dari nilai-nilai syariat Islam.
Sedangkan Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah pada kesempatan itu mengemukakan, semua kebudayaan yang tumbuh kembang di Aceh tidak terpisahkan dengan syariat Islam. Oleh sebab itu cukup berkepentingan untuk merawat kebudayaan dan keberagaman yang ada di Aceh.
“Diselenggarakannya PKA ini bisa memperkuat kekeluargaan di Aceh yang memiliki beragam kebudayaan,” tukas Nova Iriansyah.
Menurut Nova, PKA selain menjaga kebudayaan tergerus oleh globalisasi, juga menjadi refleksi pembangunan di Aceh. Termasuk bidang investasi, pariwisata dan mempromosikan dunia usaha di Aceh, hingga bisa meningkatkan pendapatan masyarakat.
“Tidak hanya seni budaya, tapi juga menyediakan berbagai informasi tentang Aceh,termasuk pembangunan,” tukasnya.
Sementara itu Kepala Bidang Pemasaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, Rahmadani mengatakan, perhelatan PKA VII ini memiliki beberapa perbedaan. Terutama saat serimoni pembukaan yang menampilan tari kolosal dan sejumlah atraksi lainnya.
“Melalui PKA ini kita bisa terus memperkuat dan mempersatukan kita dalam bingkai kebudayaan kita yang beragam, sehingga kita semakin kokoh dan akan terus maju,” ungkap Rahmadani.
Rahmadani berharap, seluruh rakyat Aceh bisa mendatangi arena PKA VII untuk melihat khasanah dan budaya Aceh. Sehingga masyarakat Aceh tidak lupa dengan kebudayaan yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat.
tribunnews.com