Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tradisi Syawalan di Pekalongan

Syawalan merupakan tradisi khas masyarakat Pekalongan, yakni seminggu setelah hari raya Iedul Fitri (Lebaran). Biasanya setelah lebaran, masyarakat Pekalongan melaksanakan puasa sunah 6 hari. Oleh karena iitu, masyarakat Pekalongan baru benar-benar merayakan lebaran setelah seminggu Lebaran, dengan berbagai macam cara. Ada yang berwisata, berkunjung ke sanak saudara yang jauh, dan sebagainya.

Ada satu tradisi syawalan yang terkenal sampai ke luar daerah, bahkan mungkin sampai ke seluruh Indonesia karena sudah sering diliput oleh televisi nasional, yakni pemotongan kue lopis raksasa di Krapyak (disebut juga lopisan atau krapyakan).

Krapyakan / lopisan adalah tradisi masyarakat yang berada di Pekalongan dan sekitarnya untuk menyaksikan pemotongan LOPIS RAKSASA yang mempunyai ukuran diameter 150 cm, berat 185 kg dan tinggi 110 cm, diselenggarakan 1 minggu setelah Hari Raya Idul Fitri. oleh Walikota / Pejabat Muspida.

Asal muasal tradisi syawalan ini adalah sebagai berikut, pada tanggal 8 Syawal masyarakat Krapyak berhari raya kembali setelah berpuasa 6 hari, dalam kesempatan ini, mereka membuat acara ‘open house’ menerima para tamu baik dari luar desa dan luar kota. Hal ini diketahui oleh masyarakat diluar krapyak, sehingga merekapun tidak mengadakan kunjungan silaturahmi pada hari-hari antara tanggal 2 hingga 7 dalam bulan Syawal, melainkan berbondong-bondong berkunjung pada tanggal 8 Syawal. Yang demikian ini berkembang luas, bahkan meningkat terus dari masa ke masa sehingga terjadilah tradisi Syawalan seperti sekarang ini.

Tradisi Syawalan yang rutin dilakukan oleh masyarakat Kota Pekalongan ini sudah dimulai sejak 130-an tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1855 M. Kali pertama yang mengelar hajatan Syawalan ini adalah KH. Abdullah Sirodj yang merupakan keturunan dari Kyai Bahu Rekso.

Upacara pemotongan lopis ini baru dimulai sejak tahun 1956 oleh bapak Rohmat, kepala desa daerah tersebut pada saat itu. Lopisan berasal dari kata lopis, yaitu sejenis makanan spesifik Krapyak yang bahan bakunya terdiri dari ketan, yang memiliki daya rekat luar biasa bila sudah direbus sampai masak benar.

Lopis memang mengandung suatu falsafah tentang persatuan dan kesatuan yang merupakan sila ketiga dari Pancasila kita. Betapa tidak, ia dibungkus dengan daun pisang, diikat dengan tambang dan direbus selama empat hari tiga malam, sehingga tidak mungkin lagi butir-butir ketan itu untuk bercerai berai kembali sebagaimana semula.

Mengapa tidak dibungkus dengan plastik atau bahan lain yang lebih praktis, sesuai dengan kecangihan masa kini ? Pohon pisang tidak mau mati sebelum berbuah dan beranak yang banyak atau dengan kata lain tak mau mati sebelum berjasa dan meninggalkan generasi penerus sebagai penyambung estafet. Demikian mendalamnya pemikiran sesepuh kita terdahulu. ( Sumber Kantor Pariwisata & Kebudayaan )

 

Leave a Comment

0/5

https://indonesiaheritage-cities.org/