Ditulis oleh Asfarinal
Arasitektur (UGM) – Kajian Perkotaan (UI) – Arkeologi (Studi – UI)
Bukittinggi bukan sekadar kota wisata di dataran tinggi Sumatra Barat. Ia adalah kota dengan “lapisan waktu” yang menumpuk seperti tanah vulkanik di bawah kakinya: dari benteng Belanda, jenjang batu, pasar rakyat, hingga bioskop tua dan sekolah kolonial. Setiap sudutnya menyimpan kisah tentang kekuasaan, perdagangan, dan pencarian identitas.
Di tengah bentangan lanskap itu berdiri Jam Gadang, menara ikonik yang menjadi pusat orientasi kota. Dari puncaknya, garis pandang mengarah ke Pasar Ateh, Pasar Lereng, Pasar Bawah, dan menurun ke Lapangan Kantin serta bekas Stasiun Fort de Kock. Inilah sumbu kehidupan kota: ruang-ruang ekonomi, sosial, dan politik yang terus berputar bahkan ketika sejarahnya sering diabaikan.
Bukittinggi seperti palimpsest, manuskrip yang ditulis dan dihapus berulang kali. Dalam istilah Urban Archaeology, kota ini menyimpan lapisan-lapisan ruang yang tidak pernah benar-benar hilang, hanya berubah bentuk dan fungsi (Rossi 1982; Carandini 1991).

FOTO: minangtourism.com
Arsitektur Kolonial yang Bertahan, tetapi Terlupakan
Salah satu jejak paling nyata dari lapisan kolonial adalah SMA Raja, bangunan bergaya arsitektur colonial dengan perpaduan elemen-elemen eropa yang menyesuaikan dengan iklim tropis, bangunan ini dibangun pada 1856 sebagai Kweekschool. Dinding tebalnya masih berdiri kokoh, jendelanya besar dan berirama, ventilasinya menghadap ke arah lembah yang berembun. Di sinilah dulu calon-calon guru menimba ilmu.

FOTO: iasmaburigo88 dan topsumbar.co.id
Beberapa ratus meter dari sana, di sekitar Lapangan Kantin, berdiri rumah-rumah kolonial Indische dengan teras lebar dan atap pelana curam. Dulu rumah itu dihuni pegawai dan perwira Belanda, kini sebagian besar di huni oleh Perwira Kodim, Dokter Rumah Sakit Tentara dan juga disewakan untuk usaha atau ditinggalkan tanpa perawatan. Tidak jauh, Bioskop Eri bergaya Art Deco ini seakan-akan tenggelam nyaris tak terlihat di antara kios modern dan papan reklame.
Di sisi lain, penjara lama Fort de Kock masih berdiri dengan bentuk radialnya. Ironisnya, ruang yang dulu dirancang untuk mendisiplinkan tubuh kini menjadi ruang yang dilupakan public, tanpa papan penanda, tanpa interpretasi sejarah. Padahal, bangunan semacam ini adalah cermin kekuasaan yang pernah memengaruhi struktur kota dan masyarakatnya (Foucault 1977).

FOTO: IG westsumatra_ssc
Bukittinggi beruntung karena masih memiliki banyak bangunan kolonial yang berdiri. Namun, banyak dari mereka “hidup tanpa makna.” Sebagian direvitalisasi hanya untuk tujuan pariwisata tanpa pemahaman sejarah. Proyek Stasiun Lambuang, misalnya, mengubah bekas Stasiun Fort de Kock menjadi pusat kuliner modern, tetapi gagal menghidupkan kembali memori kolektif warga (Antara News Sumbar 2025).

FOTO: IG summatrain
Kegagalan ini menunjukkan masalah klasik dalam pelestarian warisan di Indonesia: dominasi proyek fisik ketimbang pengetahuan sosial. Bangunan dilihat sebagai aset ekonomi, bukan artefak budaya. Dalam kerangka Urban Archaeology, tindakan semacam ini menimbulkan “dislokasi makna”, ruang dipertahankan bentuknya, tetapi kehilangan konteks historis dan sosialnya (Harrison 2011).
Sama halnya dengan revitalisasi Pasar Ateh yang megah setelah kebakaran. Bangunan baru memang indah, tetapi kehilangan hubungan organik dengan Pasar Lereng dan Pasar Bawah. Jaringan jenjang yang dulunya menjadi sirkulasi alami kini terputus oleh tata ruang modern yang lebih menekankan efisiensi ketimbang makna.

FOTO: hatipena.com dan antara.com
Pelestarian kota seharusnya tidak berhenti di cat dinding atau fasad klasik. Ia harus melibatkan pembacaan ulang atas ruang, sejarah, dan praktik sosial seperti yang disarankan dalam Historic Urban Landscape Approach UNESCO (Bandarin & van Oers 2011).
Ruang Terbuka yang Kehilangan Roh
Di bawah kaki Jam Gadang, ruang terbuka yang dulu menjadi plein kolonial kini berubah menjadi ruang hiburan dan swafoto massal. Lapangan Kantin, yang dulunya lapangan militer dan upacara kenegaraan, kini sebagian besar digunakan untuk acara temporer tanpa narasi sejarah.
Padahal, ruang-ruang terbuka ini memiliki potensi luar biasa sebagai “museologi terbuka”, ruang belajar sejarah yang hidup. Jika dikelola dengan pendekatan heritage interpretation, area Jam Gadang – Lapangan Kantin – Stasiun bisa menjadi jalur pejalan kaki edukatif seperti di Penang atau Malacca, di mana kota menjadi museum tanpa tembok (Widodo 2017).
Sayangnya, kebijakan kota cenderung memfokuskan pada beautifikasi dan festivalisasi, bukan konservasi makna. Ruang-ruang publik direduksi menjadi “spot foto” sementara nilai sosialnya sebagai tempat berinteraksi, berdiskusi, dan belajar semakin kabur.
Urban Archaeology: Membaca Kembali Kota yang Hidup
Pendekatan Urban Archaeology memberi alternatif cara pandang terhadap Bukittinggi. Ia mengajak kita “menggali” kota bukan dengan sekop, tetapi dengan kesadaran: menelusuri hubungan antara benda, ruang, dan manusia. Bukittinggi dibaca dari lapisan-lapisan waktu dengan membaca tinggalan-tinggalan yang tersisa.
Di Bukittinggi, lapisan itu tampak jelas:
• Lapisan kolonial: Fort de Kock, SMA Raja, bioskop, penjara.
• Lapisan ekonomi rakyat: sistem pasar dan jenjang.
• Lapisan nasional: Istana Bung Hatta.
• Lapisan kontemporer: wisata, kuliner, dan ekonomi kreatif.
Namun, banyak penelitian arkeologi kota di Indonesia masih bersifat deskriptif dan berhenti di tahap inventarisasi. Padahal, semestinya urban archaeology berkembang menjadi ilmu reflektif yang mampu memengaruhi kebijakan ruang dan kesadaran publik. Bukittinggi dapat menjadi laboratorium ideal untuk itu, kota di mana setiap dinding dan jenjang adalah data sejarah.
Ketegangan antara Wisata dan Warisan
Bukittinggi hidup dari pariwisata, tetapi juga rentan karena pariwisata. Banyak situs heritage dikomersialisasi tanpa narasi edukatif. Rumah-rumah kolonial dijadikan kafe bertema Eropa tanpa interpretasi sejarah; bioskop tua diubah menjadi gudang; sekolah kolonial direstorasi tanpa memperkenalkan nilai arsitekturnya kepada siswa.
Fenomena ini menggambarkan apa yang disebut Rodney Harrison (2011) sebagai heritage paradox: semakin banyak upaya “melestarikan”, semakin besar risiko kehilangan makna. Ketika heritage hanya dijadikan komoditas, ia berhenti menjadi ingatan dan hanya menjadi latar bagi konsumsi estetika.
Menurut banyak kalangan dalam kajian Urban Heritage, ketegangan antara pariwisata dan warisan budaya adalah isu kompleks yang melibatkan interaksi antara manfaat ekonomi dan risiko pelestarian. Meskipun pariwisata dapat menjadi katalisator positif, terutama dalam hal pembiayaan pelestarian dan peningkatan kesadaran, dampaknya yang tidak terkontrol dapat menyebabkan konsekuensi negatif.
Dan, ini menjadi PR besar bagi Kota Bukittingi yang memiliki kekayaan tinggalan budaya yang memilih parawisata sebagai pilihan. Sebagai daerah tujuan utama parawisata, terutama bagi daerah sekitar di Sumatera Barat dan Profinsi tetangga. Interpertasi dalam mengembangkan Kawasan kota menjadi penting.
Kota yang Menunggu untuk Dibaca Ulang
Bukittinggi menyimpan semua unsur kota pusaka ideal: monumen ikonik, pasar hidup, arsitektur kolonial, ruang publik terbuka, dan lapisan sejarah yang kompleks. Tetapi kota ini juga menyimpan paradoks: pelestarian yang hidup secara fisik, namun sering mati secara makna.
Pelestarian sejati seharusnya mengajak kita berdialog dengan masa lalu, bukan sekadar berfoto dengannya. Bukittinggi membutuhkan bukan hanya rencana tata ruang, tetapi juga rencana tata makna: bagaimana kota ini dibaca, diajarkan, dan dihidupkan kembali melalui warganya.
Dalam bahasa arkeologi kota, Bukittinggi bukan reruntuhan, melainkan “kota yang sedang digali dari dalam dirinya sendiri.” Dan tugas kita adalah memastikan agar setiap lapisan sejarah yang muncul dari Jam Gadang hingga Bioskop Eri, tidak sekadar menjadi cermin nostalgia, melainkan pijakan untuk masa depan kota pusaka Indonesia.