Rangkaian kegiatan satu abad Kongres Kebudayaan Indonesia (1918-2018) yang berlangsung di Jakarta sejak tanggal 5-9 Desember kemarin tergolong sukses dan semarak, baik secara kualitas program kegiatan, kuantitas jumlah kepesertaan dari berbagai daerah maupun berbagai kalangan yang berperan aktif dalam setiap rangkaian kegiatannya hingga penutupan yang dirangkaikan dengan penyerahan Dokumen Strategi Kebudayaan kepada Presiden RI Joko Widodo. Ditengah kesuksesan penyelenggaraan KKI 2018 tersebut, kompleksitas persoalan kebudayaan terus menjadi pekerjaan rumah yang selalu mengemuka seolah tiada jedah untuk diselesaikan. Diantara persoalan tersebut, konflik Papua merupakan salah satu yang paling mengancam keutuhan NKRI. Setidaknya berikut catatan saya dari perspektif sosio kultural sebagai refleksi dibalik suksesnya penyelenggaraan Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2018, antara lain:
Papua bukan sekedar persoalan keamanan tapi juga masalah kebudayaan. Pendekatan kita atas konflik Papua selama ini terjebak pada persoalan yang nampak ke permukaan tanpa membasmi akar persoalan yang melatari perjalanan panjang konflik tersebut berlangsung. Kita mesti menyadari bahwa politik kebudayaan atas persoalan Papua adalah hal terpenting dari sekedar persoalan ideologis, politik kesatuan kebangsaan yang selama ini menjadi mainstream setiap rezim yang berkuasa.
Secara sosiologis, perjalanan panjang dan nyanyian untuk “Merdeka” dari kalangan OPM adalah terlahir dari sebuah dorongan gerakan kultural dan tuntutan pengakuan atas hak konstitusional masyarakat adat masing-masing komunitas yang berbasis kesukuan di bumi Cendrawasih tersebut. Meskipun demikian, sungguh bukanlah faktor tunggal karena beragamnya kepentingan dan kompleksitas persoalan secara internal (lintas suku) dan eksternal (hegemoni negara) maupun politik ekonomi global dalam perebutan sumber daya Papua. Ini berarti bahwa persoalan Papua bukanlah sekedar soal negosiasi politik atau kalkulasi dan akumulasi keuntungan yang tidak terbagi rata bagi masyarakat Papua dari sumber daya alam yang dimilikinya.
Secara kultural, kompleksitas persoalan kebudayaan masyarakat Papua tidaklah sama halnya dengan kebudayaan daerah lainnya di Indonesia, baik dalam hal cara pikir orientasi nilai budaya, asal usul, dan lainnya. Oleh karenannya maka penanganan atas kompleksitas persoalan di Papua janganlah seragam dengan cara pandang terhadap daerah-daerah di pulau Jawa pada umumnya. Artinya, jangan pernah kita menyamakan kebutuhan orang Papua sama dengan kebutuhan orang Jakarta. Membangun jalan dan jembatan bukan sebagai solusi untuk mendorong upaya adaptasi budaya orang Papua dalam perspektif pembangunan insfrastruktur dan politik kebudayaan nasional yang selama ini dipraktekkan.
Diplomasi budaya melalui ruang dialog sebagai strategi adaptif untuk memperkuat kelembagaan lokal dan solusi atas realitas kesenjangan budaya (cultural lag) yang terjadi merupakan salah satu langkah ampuh yang perlu dilakukan dengan mempertimbangkan aspek historis kawasan serta masyarakat tempatan. Termasuk memasukkan Tidore sebagai bagian penting yang mempersatukan keragaman eksistensi suku yang ada dibumi Papua pada masa lalu. Bagaimanapun juga, kerajaan Ternate dan Tidore merupakan bagian terpenting dalam sejarah panjang orang Papua.
Jika hal ini tidak dilakukan maka ancaman disintegrasi bangsa bukan lagi pepesan kosong atau merupakan bahaya laten (tersembunyi) melainkan telah menjadi bahaya manifest (begitu nyata), terlebih menjelang Pilpres saat ini dimana mudah dimainkan atau digiring oleh berbagai kelompok yang berbeda kepentingan guna memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa yang secara kultural sebagai prestasi atau capaian warisan nilai para leluhur terdahulu.
Jangan pernah membiarkan realitas ini semakin memperparah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara jika tak menginginkan pertumpahan darah sesama bangsa atau digiring ke kencah pembantaian. Kalkulasi politik nasional dengan belajar dari Pilpres sebelumnya dimana kemenangan Jokowi 70 persen lebih di Papua dan lebih dari 10 kali kunjungan Jokowi ke Papua bukanlah jaminan untuk meraup kembali suara dari bumi kepala burung menghadapi Pilpres mendatang, terlebih jika adanya upaya untuk “menggoyang” dan “menggoreng” berbagai isu yang terjadi belakangan ini. Lantas, ada apa dengan Papua? adakah yang salah? siapakah yang harus disalahkan dan harus pula berperan atau bertanggungjawab?
Comte pernah berkata bahwa : “Savoir Pour Previour”, artinya mempelajari masa lalu, melihat masa kini, untuk menentukan masa depan. Demikian pula ungkapkan J.J.A Woorsaae seorang ahli hukum dari universitas Kopenhagen, Denmark yang pernah mengatakan bahwa: ”bangsa besar adalah bangsa yang tidak hanya melihat masa kini dan masa mendatang, tetapi mau berpaling ke masa lampau untuk menyimak perjalanan yang telah dilaluinya.
Ternate dan Tidore adalah solusi atas damai yang terkoyak di bumi Papua. Ungkapan Bung Karno: Jas Merah, jangan pernah melupakan sejarah adalah sebuah penegasan bahwa sebelum NKRI dilahirkan dari rahim bumi pertiwi yang diberi nama Indonesia, telah berlangsung proses panjang sejarah perjalanan bangsa dimana kerajaan-kerajaan besar di Timur Indonesia pernah lebih dahulu eksis. Mengutip kiasan Tengku Dani Ikbal bahwa dalam perspektif unitarisme, pernyataan “kami lebih dahulu ada”, beserta kebudayaannya, adalah sebuah keniscayaan sejarah yang tak boleh dilupakan begitu saja. Karena kerajaan Ternate dan Tidore inilah maka kita kenal ungkapan: “vom Sabang tot Merauke” yang diucapkan seorang perwira tentera Belanda, J. B. van Heutsz. Artinya bahwa jika bukan karena Ternate dan Tidore maka tak akan pernah kita nyanyikan lagu:
Dari sabang sampai merauke
Menjajah pulau-pulau
Sambung memnyambung menjadi satu
Itulah Indonesia
Indonesia tanah airku
Aku berjanji padamu
Menjunjung tanah airku
Tanah airku Indonesia
Atas alasan historis ini pula, tak heran kita mendengar adanya aspirasi masyarakat Moloku Kie Raha (Maluku Utara) untuk diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai daerah istimewa sebagaimana Aceh dan Yogyakarta. Tuntutan keistimewaan Moloku Kie Raha bukan pula sebuah nyanyian di tengah padang Savana yang mengudara hampa di angkasa melainkan sebuah fakta historiografis yang membatu di bumi. Melalui Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 kini, setidaknya mampuh mengidentifikasi 7 (tujuh) isu pokok pemajuan kebudayaan, yaitu:
- Pengerasan identitas primordial dan sentimen sektarian
- Modernitas dan tradisi
- Distrupsi teknologi informatika
- Ketimpangan relasi budaya dalam globalisasi
- Pembangunan yang mengorbankan ekosistem alam dan budaya
- Tata kelembagaan budaya belum optimal
- Desain kebijakan belum memudahkan masyarakat memajukan budaya
Dari ketujuh isu pokok tersebut, lahirlah 7 (tujuh) agenda strategis pemajuan kebudayaan, yaitu:
- Mewujudkan ruang bagi keragaman ekspresi budaya dan mendorong interaksi budaya untuk memperkuat kebudayaan yang inklusif.
- Melindungi dan mengembangkan nilai ekspresi dan praktik kebudayaan tradisional untuk memperkaya kebudayaan nasional
- Mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan budaya untuk memperkuat kebudayaan Indonesia di dunia internasional
- Memanfaatkan objek pemajuan kebudayaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
- Memajukan kebudayaan yang melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem.
- Reformasi kelembagaan dan penganggaran untuk mendukung agenda pemajuan kebudayaan.
- Meningkatkan peran pemerintah sebagai fasilitator pemajuan kebudayaan.
Kesemuanya dijadikan sebagai rangkaian program yang ingin diwujudkan bersama sebagai visi pemajuan kebudayaan 20 tahun mendatang yaitu: “Indonesia bahagia berlandaskan keanekaraman budaya yang mencerdaskan, mendamaikan dan mensejahterakan”. Visi pemajuan kebudayaan ini kita diharapkan mampuh menjadi solusi guna menjawab tantangan zaman dan kompleksitas persoalan kebudayaan bangsa yang terjadi saat ini maupun masa akan datang.
Salam Budaya !
Oleh: Rinto Taib, MSi (Peserta Kongres Kebudayaan Indonesia 2018)