Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pelestarian Tari Sanghyang Dedari Lewat Wisata Budaya

Satu warisan budaya asal pulau Bali yakni Tari Sanghyang Dedari, hampir punah. Namun, setelah ditelusuri, tarian yang menjadi ritual sakral menjelang panen itu masih tertinggal di desa Geriana Kauh, Duda Utara, Karangasem, Bali dan menjadi satu-satunya.

Tarian yang dianggap sebagai cikal bakal tari-tarian di Bali itu pun diupayakan untuk dapat terus lestari dan dikenal. Peneliti dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Saras Dewi, mengusulkan cara mengembangkan serta melestarikannya adalah dengan menjadikannya sebagai desa wisata budaya dan pembangunan museum.

“Museum dapat menjadi langkah awal yang juga akan menjadi semacam percontohan ekowisata desa,” katanya pada acara Simposium Seabad Pariwisata Budaya di Bali di Gedung Sapta Pesona, Kementerian Pariwisata, Sabtu (28/1).

Menurutnya, saat ini Bali sendiri telah didominasi oleh wisata budaya komersial yang mana penduduknya hanya menjadi penonton dan tradisi aslinya mulai menghilang.

“Namun fakta bahwa desa itu masih menarikan tari Sanghyang Dedari, kami kaget sekaligus bersyukur di tengah modernisme masih mempertahankan tradisional dan pertanian mereka itu organik,” kata dia mengungkapkan.

Dengan tujuan dibukanya wisata budaya di sana, Saras pun berharap bahwa nanti peraturan di desa itu harus ditulis secara ketat dan membuat batasan akan kesakralan desa yang tak boleh dilewati.

“Tari Sanghyang ini satu tahun sekali (menjelang panen sekitar April), sehingga harus mengikuti tata cara mereka. Ini tidak akan mengubah desa, jadi tamu datang yang bisa menyerap nilai dari desa,” katanya lebih lanjut.

Tari Sanghyang Dedari menjadi pondasi tarian Bali lainnya yang kemudian disekulerkan. “Hal itu membuat ruang sakral punah, jadi bagaimana caranya kedua itu seimbang dan tarian yang tinggal satu-satunya di Bali itu bisa direplikasi, karena warga Balinya pun tidak semua tahu,” ungkap Saras.

Ketua Adat Desa Geriana Kauh I Wayan Beratha menyambut positif rencana akan pelestarian budaya tari yang dilakukan menjelang padi menguning itu melalui wisata. Namun Beratha berkomitmen tidak akan membuatnya secara komersial.

Dia setuju, bentuk pengenalannya itu melalui museum dengan menampilkan sejarahnya lewat foto-foto, video, hal-hal yang berkaitan dengan tari itu maupun pertanian. Tujuannya, agar warisan budaya itu tetap terjaga dan juga dilestarikan.

“Kami berharap pemerintah juga dapat mendukung hal itu, kami pun siap menonjolkan potensi lain dari desa ini,” katanya.

Tari Sanghyang Dedari sendiri dipercaya dapat mendatangkan kemakmuran dan mengusir penyakit atau hama yang merusak, selama masa bercocok tanam. “Ini melibatkan anak-anak perempuan yang belum mengalami menstruasi sekitar usia 10 tahun untuk menari yang menyebabkan kerauhan (kerasukan), tariannya mengikuti musik gending,” tutur Beratha.

Menanggapi rencana tersebut, Gaura Mancacarita selaku Staff Ahli Kebudayaan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pun memberikan sarannya. Menurutnya, diperlukan pemikiran yang matang sebelum memutuskan mengembangkan wisata.

“Kuta itu memalukan. Kita tak menginginkan desa yang suci menjadi seperti Kuta,” ujarnya.

Dia kemudian menyampaikan, bahwa konsep ‘homestay’ dapat menjadi alternatif akan wisata budaya yang diharapkan.

“Jadi wisatawan tinggal bukan di hotel, melainkan di rumah-rumah dengan warga, makan dari dapur yang sama sehingga menyesuaikan dengan yang ada di sana, itu akan mendidik juga,” ujarnya yang merasa bila ada hotel hanya akan menguntungkan investor di luar desa, bukan masyarakatnya sendiri.

“Sanghyang Dedari itu ujung tombak tari tradisi yang sangat sakral dari jaman dulu. Kalau dibuka (wisata) itu secara terbatas, jangan ditarikan setiap hari apalagi dibawa ke Denpasar (secara komersial). Karena tari itu tidak hanya gerak fisik tapi juga gerak batin,” pungkasnya.

cnnindonesia.com/Image IndonesiaDailyNews.co

Leave a Comment

0/5

https://indonesiaheritage-cities.org/