PEMERINTAH Kota (Pemkot) Pekalongan resmi mengangkat Sarung Batik sebagai pakaian resmi bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Pekalongan dan masyarakat umum. Peluncurannya, tepat di Hari Ulang Tahun (HUT) ke-112 Kota Pekalongan tahun 2018 ini.
“Pada hari ini, secara resmi sarung batik diangkat sebagai salah satu pakaian resmi, baik pegawai maupun masyarakat umum,” tegas Wali Kota Pekalongan, H Saelany Machfudz dalam Festival Sarung Batik, di Kompleks Jatayu Kota Pekalongan.
Dengan pencanangan tersebut, jelasnya, maka sarung batik akan dikenakan pada setiap hari Jumat pada minggu keempat setiap bulannya. Baik di lingkungan Pemkot Kota Pekalongan maupun oleh masyarakat pada umumnya.
Pencanangan tersebut dimeriahkan dengan acara pawai Sarung Batik yang dibalut dalam festival musik rampak. Acara tersebut diikuti pula 15 perusahaan sarung batik dari Pekalongan dan sekitarnya. Tampak pula perwakilan dari setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkungan Pemkot Pekalongan. Tidak sekedar tampil, semua peserta yang hadir dinilai oleh tim juri, untuk dicari kelompok paling menarik, terbaik dan kompak, baik dalam musik rampak maupun sarung batik yang dikenakan.
HUT Kota Pekalongan tahun 2018 yang bertema Dengan Budaya Pesisiran Torehkan Etos Kerja untuk Mandiri Menuju Sejahtera ini, sebelumnya sudah ada beberapa rangkaian acara utama yang seluruh pesertanya mengenakan sarung batik. Mulai dari khataman Alquran di Masjid Al Ikhlas kompleks Jatayu Kota Pekalongan. Kemudian istighotsah di masjid yang sama.
Wali Kota Saelany menjelaskan bahwa peluncuran Sarung Batik sebagai identitas Kota Pekalongan, merupakan upaya Pemkot dalam mempertahankan predikat Kota Kreatif Dunia yang diberikan oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
“Makanya, kita harus kreatif dan berinovasi untuk mempertahankan penghargaan dari UNESCO ini. Apabila kita tidak mampu menjaga atau berkreasi dan berinovasi, bisa saja penghargaan dari UNESCO dicabut,” kata Saelany yang dalam kesehariannya kerap mengenakan sarung batik dalam acara resmi pemerintahan atau saat beribadah.
Selain itu, katanya, Festival Sarung Batik ini untuk meningkatkan daya kreatif UMKM Batik lokal dan berdampak positif pada perkembangan pemasaran UMKM di daerah Pekalongan sendiri. “Karena itu, harus terus kreatif, dengan membangkitkan sarung batik. Misal sarung didesain dengan berbagai model yang lebih nyaman,” katanya.
Hal tersebut dibenarkan salah satu perajin sarung batik, Abdul Hakim, warga Jenggot Gang 4, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kota Pekalongan. Mewakili perajin sarung batik, dirinya sangat senang dengan program Pemkot Pekalongan dalam mengangkat kembali sarung batik.
“Keluarga besar saya, mulai dari kakek hingga kini, sudah produksi sarung batik. Namun kami baru mulai produksi lagi, tahun 2015 ini, ketika sarung kembali populer,” jelas pemilik merek sarung sarung batik Al Fathar ini.
Awalnya dirinya hanya membuat sarung batik cap sebanyak 100 potong dan dipasarkan sendiri ke berbagai tempat, terutama di lingkungan pondok pesantren (Ponpes) baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Lambat laun, sejak tahun 2017, sarungnya mulai diminati, terutama di kalangan santri. Tercatat beberapa pondok pesantren yang menjadi langganannya adalah Ponpes Lirboyo Kediri, Ponpes Ploso, Ponpes Gontor, Ponpes Mambaul Hikam Blitar dan beberapa ponpes kecil lainnya.
Dengan dicanangkannya sarung batik menjadi ikon baru Kota Pekalongan dalam berbusana, Hakim dan seluruh perajin dan pedagang sarung batik, menyambut positif. Pihaknya berharap, produk ini bisa populer di kalangan orang lokal sendiri.
“Kalau produk sarung batik ini dikenakan orang Pekalongan juga, otomatis semua perajin dan pedagang sarung batik juga dapat berkahnya,” harapannya.
radarsemarang.com/Image radarpekalongan.co.id