Oleh; Rinto Taib, MSi
(Kepala Litbang Jaringan Kota Pusaka Indonesia)
Ragam respon bermunculan dari berbagai kalangan masyarakat kota Ternate setelah penyerahan sertifikat hak kekayaan intelektual atas city branding Ternate sebagai Kota Rempah. Sebuah apresiasi yang patut kita berikan kepada semua pihak yang menginisiasi dan terlibat didalamnya hingga capaian itu. Sejarah panjang kejayaan rempah telah menempatkan Ternate sebagai episentrum perdagangan dunia yang ditandai dengan perdagangan Pala dan Cengkeh oleh para pedagang Arab, Persia, Cina dan Gujarat hingga datangnya bangsa Eropa yang menerapkan monopoli perdagangan atas rempah di era kolonisasi.
Perjalanan panjang sejarah negeri ini telah melekatkan komoditi rempah sebagai primadona sekaligus magnet yang melayarkan ribuan kapal dagang dari sesama bangsa Asia hingga Eropa untuk berlayar mengarungi samudera mencari kepulauan rempah. Seiring dengan sejarah panjang itu pula, telah terjadi kontak dagang dan diplomasi budaya yang meninggalkan jejak hingga kita temukan saat ini. Meski meninggalkan derita dibalik cerita dari berbagai peristiwa yang melatari perdagangan rempah dimasa lalu sesungguhnya praktik penguasaan politik ekonomi global masa itu telah terjadi dengan dikendalikan oleh organisasi dagang VOC. Fakta ini pula menunjukan bahwa negeri asal rempah memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan kemajuan peradaban bangsa-bangsa di dunia termasuk Eropa.
Kini, rekam jejak perjalanan sejarah tersebut terpatri sebagai bagian dari dinamika sosial kultural yang hidup dalam kesadaran kolektif masyarakat Ternate dalam berbagai wujud. Eksistensi kesultanan dan peninggalan sejarah disetiap sudut kota ini seolah menjadi saksi bisu jejak peradaban masa lalu yang memukau dimasa kini. Realitas ini seolah menepis anggapan sebagian kalangan yang menganggap bahwa romantisme kejayaan negeri asal rempah hanyalah tinggal dongeng yang mewarnai layar fiksi di setiap pertunjukan. Saatnya untuk menafsir ulang jejak warisan sejarah tersebut dalam ragam kepentingan, baik sebagai ilmu pengetahuan (kesejarahan, ekonomi, arsitektural, kebudayaan, kepariwisataan, dan lain-lain) secara lebih luas. Dalam keseluruhan konteks tersebut, Ternate seolah kaya atas ragam pilihan dan klaim identitas. Disebut sebagai kota budaya, kota dagang, kota pusaka, kota rempah dan sebagainya, jika diibaratkan sebagai sebuah produk maka Ternate diiklankan dalam ragam merek atau branding.
Keragaman identitas ini pula tak akan pernah dapat dipisahkan dari eksistensi rempah-rempah seperti Pala dan Cengkeh yang akan tetap melekat sebagai komoditi unggulan dimasa lalu yang mengubah dunia. Dan karena itu pula maka city branding Ternate kemudian menjadi lebih mudah dilekatkan sebagai Kota Rempah dengan bersandar pada hasil kajian dan proses panjang sejak 2019 lalu. Dari proses kajian tersebut, pada tahun lalu tepatnya pada bulan Desember tahun 2021, launching city branding Ternate Kota Rempah dilakukan bertepatan dengan perayaan hari jadi Ternate ke-771. Dan kini, tepatnya pada hari Senin tanggal 29 Agustus 2022, melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumham RI, Walikota Ternate menerima sertifikat city branding Ternate sebagai kota Rempah.
Sebagai kota tematik rempah satu-satunya di Indonesia bahkan di dunia maka tentu hal ini diharapkan dapat membawa pengaruh bagi kehidupan masyarakat kota Ternate itu sendiri. Untuk mewujudkannya maka diperlukan berbagai langkah strategis yang didukung sepenuhnya oleh berbagai pihak, komitmen keberpihakan dan konsistensi kebijakan pemerintah kota maupun partisipasi masyarakat yang secara sadar dan kolaboratif mau bersinergi bersama-sama membangun negeri ini sebagai cara merawat identitas Ternate Kota Rempah adalah sebuah keniscayaan. Tanpa itu maka city branding tak lebih dari sekedar “iklan” yang numpang lewat ditengah dinamika ruang kekuasaan.
Sebagai sebuah identitas maka terselip impian tentang upaya mengembalikan kejayaan masa lalu yang gemilang dimasa kini dalam wujud revitalisasi nilai budaya rempah itu sendiri. Lantas demikian maka pertanyaannya adalah bagaimanakah strategi dan apa saja yang diperlukan untuk mewujudkaannya ? Setidaknya terdapat beberapa hal yang penting untuk dilakukan antara lain:
Pertama; internalisasi nilai budaya rempah yang diwujudkan melalui lembaga pendidikan dasar hingga perguruan tinggi dalam ragam kebijakan, peran lembaga keluarga dan lembaga sosial kemasyarakatan ikut menentukan upaya konservasi genetis generasi kota rempah dengan keberlanjutannya. Sebagai city branding maka kota Ternate diibaratkan telah memiliki sebuah merek yang melekat didalamnya jaminan kualitas produk, atribut, manfaat dan identitas serta orientasi nilai budaya yang terpaut di dalamnya sehingga diperlukan strategi promosi dan pengiklanan yang profesional dan tepat sasaran tentunya sehingga berdampak nyata kemanfaatannya.
Kedua, revitalisasi jejak dan warisan kota rempah sebagai upaya untuk penguatan kelembagaan lokal maupun kemampuan beradaptasi ditengah tantangan zaman. Hal ini berkaitan dengan positioning maupun diferensiasi yang akan menjadi pembeda dari karakter kota lainnya. Tematik kota rempah yang melekat sebagai identitas Ternate perlu ditafsir dan diadaptasikan dengan kebutuhan dan peluang investasi dan dunia usaha termasuk bersentuhan dengan dunia pasar dan industri kreatif. Diperlukan pula regulasi kebijakan, eksplorasi tematik yang lebih mendalam dan kesiapan diri untuk tampil berbeda dengan city branding kota rempahnya.
Ketiga: memperkuat identitas dan memperluas jejaring kemitraan bagi kolaborasi dan sinergi yang berdampak luas bagi ekonomi, ilmu pengetahuan, ekologi dan pembangunan masyarakat secara lebih luas. Pada konteks ini maka jejaring (global network) adalah kunci keberhasilan bersama dalam ragam kepentingan baik itu dalam kaitannya dengan investasi dan perdagangan maupun kepariwisataan (tourism) terlebih dengan berbagai negara yang emosional pernah terjalin di masa kejayaan dan perdagangan rempah dahulu kala seperti Belanda, Portugal, Spanyol, Iran, dll. Bahkan bisa juga dikaitkan dengan Inggris untuk isu jejak dan warisan keilmuan Alfred Russel Wallace.